Page 70 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 70
Kami telah tiba di pundak Watugunung melalui jalan
mendaki di punggungnya. Ini adalah bidang datar tertinggi
setelah puncaknya yang terjal. Seorang lelaki berpakaian hi
tamhitam mengejutkan kami. Ia mengenakan destar batik dan
keluar dari belukar. Ia seperti baru selesai semadi. Kami saling
mengangguk dengannya sebelum ia berjalan turun. Setelah ia
hilang dari pandangan, Parang Jati mengajakku ke tempat pria
itu baru saja memuja. Di sana ada sebuah beringin tua yang
rindang, pohon yang tahan tumbuh di bebatu. Di dekatnya
ada sebuah batu besar datar bagai meja. Mezbah alam tempat
persembahan dinaikkan. Di atasnya teronggok secanang sesaji
dengan dupa yang masih berasap.
Parang Jati menoleh kepadaku dan menggerakkan alis
dengan jahil. Ia sedikit menyeringai. Ah, baru kali ini aku me
lihat wajah nakalnya meski matanya masih bidadari. Parang
Jati mengambil satu jeruk dan satu pisang dari sana dan
menyodorkannya bagiku. Aku menganggukangguk pelan sam
bil menyebut anjing dalam hati. Kali ini ia menampakkan sisi
lain dirinya dan ganti coba menjebak aku dalam permainan
tantangan. Semacam tes apakah aku percaya takhayul. Dan
jika aku insyaf bahwa sesaji tak boleh disembarangi, apakah
aku takut melanggarnya. Kesombongan urbanku tibatiba me
nyala. Meskipun aku benci televisi dan mal, tetaplah aku putra
rasionalitas. Aku adalah anak akal sehat yang tak cemas pada
takhayul. Hanya si bodoh yang memasang sajen, memberi
makan setansetan yang tak ada.
Aku memandangi kedua buah itu beberapa detik. Baiklah.
Kuterima tantangan itu. Mari kita lihat, siapa yang penakut
di antara kami berdua. Aku mengambil jeruknya. Kau ambil
pisangnya. Kami saling bertatapan sejenak, seperti dua koboi
menjelang duel, samasama mendugai pikiran yang lain. Jika
aku makan buah itu dan dia tidak, akan kuejek dia seumur
hidup sebagai pengecut. Satu hitungan. Dua hitungan. Apa
reaksinya? Hitungan tiga! Lalu kami samasama berusaha
0