Page 71 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 71

menjadi yang pertama memakan buah­buahan itu. Aku sedikit
                 kurang gesit. Sebab menguliti jeruk lebih sulit dari mengupas
                 pisang.
                     Setelah  itu  kami  terbahak­bahak  berdua.  Bahasa  tubuh
                 kami  menemukan  kesepakatan  untuk  menyikat  sisa  sesajen
                 yang  layak  makan.  Parang  Jati  mengambil  bungkusan  dari
                 kulit  pisang  untuk  memeriksa  isinya.  Barangkali  isinya  nasi
                 uduk  dengan  empal  yang  enak  dan  serundeng  yang  gurih.
                 Tapi sesuatu  menusuk  telunjuknya. Sunduk lidi  yang  disayat
                 terlalu tajam. Kulihat di ujung jarinya setitik darah pelan­pelan
                 membesar.
                     Sesuatu  yang  ganjil  terbit  pada  diriku.  Rasa  itu  datang
                 seperti  bersama  siualan  angin  dari  lubang­lubang  tebing.  Ti­
                 ba­tiba  aku  cemas.  Untuk  alasan  yang  tak  jelas.  Barangkali
                 khawatir bahwa ia kualat oleh tuah sesaji. Atau merasa kualat.
                 Entahlah.  Dalam  diriku  selalu  ada  dorongan  untuk  setia  ka­
                 wan dan berbagi. Aku ingin menanggung kecemasannya juga.
                 Mungkin ini wujud dari ruh “kenikmatan menanggung” yang
                 hidup dalam diriku.
                     Kuambil  tangannya  dan  kujilat  darah  itu.  Kucecap  rasa
                 asin itu. Kutelan dalam liurku. Aku bagaikan berkata, jangan
                 khawatir, sahabat! Lukamu, lukaku juga.
                     Kulihat  Parang  Jati  menatapku  terpukau.  Mata  polos­
                 nyaris­bidadari ia terbuka lebar. Lalu aku jadi salah tingkah.
                     “Menjilat darah adalah mematri ikatan persaudaraan sam­
                 pai  ajal.  Demikian  Old  Shatterhand  dan  Winnetou,”  kataku
                 dengan ilham yang datang tiba­tiba.
                     Barangkali aku menipu.
                     Ia terdiam sebentar.
                     “Kalau begitu saya juga harus menjilat darahmu. Sebagai
                 ikatan persaudaraan.”
                     Blood brothers.
                     Ia ambil sunduk yang tadi melukainya dan ia jemput telun­
                 jukku. Aku takjub akan keberaniannya. Rasa sakit menggigit.


                                                                         1
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76