Page 68 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 68
Aku tak begitu suka ketika ia terdengar sok bertamsil. Ini
lah saat aku merasa dia jauh lebih tua dari aku dengan cara
yang tidak asyik. Lebih baik bagiku jika ia mengejek, sebab cara
ini menyediakan ruang bagiku untuk membalas. Aku senang
membayangbayangkan pembalasan.
“Aku sedang ikut dalam penelitian untuk membaca buku
harian itu.”
“Buku harian siapa?” aku purapura bodoh.
Mata lugunya tidak menangkap, atau tidak peduli pada
sinyal sindiranku. Ia menerangkan betapa di dalam setiap batu
tertatah sejarah bumi.
“Sebuah dokumen tua yang rapuh bernama karst…
Mungkin kedengaran lebih puitis. Karst adalah dokumen kuno
yang kini telah rapuh. Tebing adalah dokumen tua. Itu bukan
kata saya. Melainkan kata dosenku Brahmantyo waktu kami
sedang meneliti kawasan karst Citatah. Citatah itu perbukitan
gamping di tepi Bandung yang juga jadi tempat latihan dasar
panjat—”
“Aku tahu,” potongku. Tentu saja aku tahu.
“Ya. Kopassus juga latihan di situ, kan?” Ia nyinyir.
“Kadang kami ikut melatih mereka.”
“O ya. Tentu saja. Ada jalur clean climbing kah di sana?”
“Sebetulnya, tanpa kehadiran Kopassus mungkin seluruh
bukit kapur itu sudah habis ditambang.”
Ia memonyongkan mulut seperti mengakui kebenaran
ucapanku dengan tidak rela. Pelanpelan aku meniteni bahwa
ia selalu sinis pada militer. Kekalahan kecilnya membuat ia
memutar kembali pembicaraan. Aku menikmati kemenangan
tipis ini meskipun nilai totalku belum melampaui dia.
“Ya. Kawasan karst Citatah makin hancur oleh penam
bangan kapur,” ia menerawang ke perbukitan sekitar seperti
mencemaskan hal yang sama di tempat ini. “Karena itu kami
ingin cepatcepat meneliti daerah SewugunungWatugunung
ini. Sebelum ia juga hancur seperti Citatah.”