Page 72 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 72
Setitik darah muncul di ujung jariku. Ia mencucupnya. Mene
lan asinnya.
Setelah itu kami berdua menjadi kikuk. Sesaat diam. Aku
telah mencicipi darahnya. Ia telah mencicipi darahku. Kami
telah bertukar darah. Kami saudara sedarah kini.
Lalu ia berkata, seperti mencari topik baru. “Kamu tidak
memperhatikan, Yuda? Jari saya ada enam…”
Aku melihat tangannya dan terpukau. Selama ini aku
hanya mengenali telapaknya sebagai besar, sedikit kelewat
besar untuk lengannya. Tapi, tanpa pewartaannya, aku tak
menyadari bahwa pada setiap tangannya ada enam jemari yang
sempurna. Ia memiliki jari manis, ataukah kelingking, yang
berganda di setiap telapaknya.
“Kau,” ujarku terbata, “seharusnya bisa menjadi pemanjat
ulung.”
Dari tempat itu laut Sang Ratu Selatan tampak terben
tang. Gemuruhnya terdengar sayup, datang satu detik setelah
lapisanlapisan ombak membentur pantai. Parang Jati me
naruh tangannya yang lebar di bahuku. Aku melihat bentang
alam menjadi seaneh mimpi. Udara terlipat oleh panas fata
morgana. Pada permukaan laut yang hijaubiruagaragar itu
dongeng meruap seperti garisgaris udara pada suhu amat
inggi. Di sebelah utara kami, berbaris tebingtebing batu yang
menyimpan jutaan kodekode yang membentuk naskah masif
tentang sejarah bumi. Di kekosongan sekeliling kitab bukit
bukit itu, seperti pada permukaan laut, ceritacerita terhantar
dalam gelombang udara yang berlipitlipit, yang bisa kau
lihat, kau baca, kau rasakan, kau pengaruhi, tapi tak bisa kau
pegang. Aku mendengar angin bertiup dan samarsamar bunyi
seruling dari liangliang Batu Bernyanyi. Watugunung. Sang
Garba Agung. Farji Utama. Siulan siang itu berbeda syahdu
ketimbang nyanyian mereka di waktu malam. Sayupsayup ada
satu yang lebih dalam. Kukenali nyanyian Sebulku.
2