Page 100 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 100

sendiri, ”Mama, kini aku seorang pelacur.” Tentu saja tidak begitu, dan
                 mereka akan mengulang, ”Mama, aku bekas pelacur.” Itu pun tampak-
                 nya salah dan mengulang, ”Mama, aku dipaksa menjadi pelacur.”
                    Tapi mereka tahu kenyataannya mengatakan hal itu di depan ibu
                 mereka jauh lebih sulit daripada di depan cermin. Satu-satunya hal
                 yang tampaknya sedikit menguntungkan adalah, orang-orang Jepang
                 itu tak bermaksud segera mengembalikan mereka ke Bloedenkamp,
                 dan sebaliknya, tetap menahan mereka di sana. Memang bukan sebagai
                 pelacur, namun sebagai tahanan perang sebagaimana semula. Prajurit-
                 prajurit masih menjaga mereka dengan ketat, dan Mama Kalong masih
                 mengunjungi mereka untuk memastikan gadis-gadis itu dalam perawat-
                 an yang baik.
                    ”Aku memperlakukan pelacur-pelacurku seperti para ratu,” katanya
                 bangga, ”tak peduli mereka telah pensiun.”
                    Mereka mengisi hari-hari, minggu-minggu dan bulan-bulan dengan
                 cara menghibur diri di sekeliling Dewi Ayu yang terus menjahit baju-ba-
                 ju kecil untuk bayinya. Kini, dibantu teman-temannya, ia telah memi-
                 liki nyaris sekeranjang pakaian, berasal dari kain-kain yang mereka
                 temu kan dari lemari pemilik rumah. Paling tidak itu menyelamatkan
                 mereka dari rasa bosan menunggu perang selesai sampai akhirnya Mama
                 Kalong datang dengan seorang dukun bayi.
                    ”Semua pelacurku yang hamil melahirkan dengan bantuannya,”
                 kata Mama Kalong.
                    ”Semoga tidak semua yang ia bantu adalah pelacur,” kata Dewi Ayu.
                    Pada hari Selasa, masih di tahun yang sama ketika ia pergi dari
                 Bloeden kamp dan masuk rumah pelacuran di awal tahun, ia me lahir-
                 kan seorang bayi perempuan yang segera ia beri nama Alamanda,
                 seba gai mana janjinya. Anak itu begitu cantik, sepenuhnya mewarisi
                 kecantikan ibunya, dan satu-satunya yang menandakan bahwa ayahnya
                 adalah orang Jepang terletak pada matanya yang mungil. ”Seorang gadis
                 bule dengan mata sipit,” kata Ola, ”hanya ada di Hindia Belanda.”
                    ”Satu-satunya nasib buruk adalah ia bukan anak Sang Jenderal,”
                 kata Helena.
                    Bayi kecil itu segera menjadi hiburan yang mewah bagi penghuni ru-
                 mah, bahkan prajurit-prajurit Jepang membelikannya boneka dan meng-

                                              93





        Cantik.indd   93                                                   1/19/12   2:33 PM
   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105