Page 117 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 117

tanpa pamit dan tanpa menoleh. Ia telah melihatnya: mereka memang
              begitu saling mencintai. Ia tak mau menghancurkan kebahagiaan
              me reka, meskipun ia harus mengobati luka hatinya yang lama tak
              kun jung sembuh. Selama perang, ia terus-menerus diserang halusinasi
              menakutkan yang diakibatkan oleh penolakan cinta yang begitu tragis
              itu. Beberapa kali mencoba membiarkan dirinya berada di ruang tembak
              musuh, menjadi sasaran tak hanya senapan namun juga meriam, dan
              hanya nasib yang membuatnya masih hidup. Selama itu ia tak pernah
              menemui si gadis lagi, dan selalu menghindar setiap kali akan berjumpa.
              Hanya ketika perang berakhir dan ia mendengar tentang perkawinan
              gadis itu dengan kekasihnya, ia mengiriminya hadiah selendang merah
              yang sangat indah, yang dibelinya dari seorang penenun.
                 Kantong-kantong gerilyawan dibubarkan, dan terjadi pemecatan-
              pemecatan. Maman Gendeng jauh lebih merasa senang daripada sedih,
              dan memulai awal kebebasannya, ia mengawali kembali pe ngem bara-
              annya, meskipun masih membawa luka cintanya yang lalu. Ia berkelana
              sepanjang pesisir utara, mengenangi rute-rute gerilya, yang tak lebih
              merupakan rute pelarian dikejar-kejar musuh. Ia mempertahankan hi-
              dup dengan merampok rumah orang-orang kaya, dan berkata kepada
              mereka, ”Jika bukan antek Belanda, tentunya antek Jepang, yang kaya
              di zaman revolusi.”
                 Dengan belasan pengikut, ia menjadi teror kota-kota sepanjang
              pantai. Polisi dan tentara mencari-carinya. Bersama gerombolannya, ia
              hidup menyerupai Robin Hood, mencuri dari orang kaya dan membagi-
              bagikannya di pintu rumah orang-orang miskin, meng hidupi janda-
              janda yang ditinggal mati suami di masa perang, dan anak-anak yatim
              mereka. Nama besarnya yang menakutkan, baik bagi musuh maupun
              kawan, bagaimanapun tak juga membuatnya merasa bahagia. Ke mana
              pun ia pergi, ia masih membawa luka la ma, dan tak pernah tersembuh-
              kan oleh gadis mana pun yang ia lihat, dan apalagi oleh pelacur-pelacur
              di gubuk-gubuk arak. Bahkan ketika malam-malam yang gila datang,
              ia menyuruh semua peng ikutnya untuk mencari gadis mungil berkulit
              hitam manis dengan lesung pipit di pipi. Ia mendeskripsikannya secara
              cermat menyerupai Nasiah, dan gadis-gadis itu akhirnya berdatangan
              ke tempat per sembunyiannya bagaikan gadis-gadis kembar yang tak bisa

                                           110





        Cantik.indd   110                                                  1/19/12   2:33 PM
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122