Page 202 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 202
Kenyataannya, hari itu menjadi hari yang begitu indah bagi Ala-
manda. Laki-laki itu menyeret semua kenangannya ke masa kecil yang
menyenangkan, dan bagai dua orang bocah kecil, keduanya duduk di
pasir membangun candi setinggi mungkin. Lelah dengan candi yang se-
lalu roboh dihantam ombak, mereka berlomba melarikan bunga-bunga
bola berduri yang melayang di atas pasir diembuskan angin, lain waktu
mereka menangkap siput laut dan membuat pacuan kecil dan keduanya
akan berteriak-teriak mendukung siput mereka sendiri, dan lelah dari
semua itu mereka menceburkan diri ke air laut dan berenang dengan
penuh keriangan. Berbaring di pasir yang basah sementara air laut
menghantam dirinya, memandang langit yang kemerahan, Alamanda
berharap bahwa hari itu tak akan pernah berakhir, senja yang abadi
de ngan laki-laki paling tampan di dunia.
Kamerad Kliwon kemudian mengajaknya naik ke atas sebuah pe-
rahu yang berlabuh di pasir. Tak apa, katanya, perahu ini milik seorang
kawan, dan ia bisa mengendalikan perahu dari topan badai sejahat apa
pun. Di dalam perut perahu terdapat beberapa pancing dan ikan-ikan
kecil untuk umpan, kita siap memancing, kata Kamerad Kliwon. Maka
mereka pun meluncur menuju tengah laut, di siang hari Minggu yang
cerah tersebut, tanpa pernah disadari oleh Alamanda bahwa mereka tak
akan pulang di hari yang sama. Kamerad Kliwon mengarahkan perahu-
nya jauh ke lepas pantai, sampai mereka tak melihat satu daratan pun,
dan yang ada hanya laut membentuk bulatan sempurna di sekeli ling
mereka. Alamanda dibuat panik dan bertanya, ”Di manakah kita?”
”Di tempat seorang lelaki menculik seorang gadis yang dicintainya
sejak bertahun-tahun lalu,” jawab Kamerad Kliwon.
Apa yang dilakukan Alamanda hanyalah mencoba duduk sejauh
mungkin dari lelaki itu, mepet di ujung perahu. Ia tak bisa berkata apa
pun, dan mulai menganggapnya sebagai kutukan. Jangan-jangan lelaki
ini telah sungguh-sungguh menjadi gila, dan hendak men celakakannya
tanpa ampun, dan jika itu terjadi, ia tahu bahwa ia tak bisa melawan
dengan cara apa pun. Namun Kamerad Kliwon sama sekali tak memper-
lihatkan keberingasan apa pun, sebaliknya, ia berbaring tenang di ujung
perahu yang lain, pada sebuah papan yang melintang sambil meman-
dang langit yang biru dengan burung-bu rung camar tersesat beterbangan
sejauh itu: beberapa di antaranya bahkan hinggap di atap perahu.
195
Cantik.indd 195 1/19/12 2:33 PM