Page 237 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 237

Ia menemukan Alamanda masih sebagaimana sepanjang hari itu:
              terikat telentang, telanjang, namun sekarang ia tampaknya telah ter-
              tidur. Apakah Sang Shodancho kemudian kembali berubah menjadi
              seorang suami yang baik sebab saat itu ia segera menyelimuti tubuh
              istrinya untuk menangkal udara dingin dan nyamuk, hanya Tuhan dan
              ia sendiri yang tahu. Sebab kemudian ternyata ia tak bisa melewatkan
              malam itu tanpa memerkosa istrinya lagi, dua kali pada pukul sebelas
              empat puluh menit dan pukul tiga dini hari sebelum ayam pertama
              berkokok.
                 Lalu pagi akhirnya datang dan Sang Shodancho muncul kembali
              di kamar tempat istrinya masih terkapar di balik selimut dengan tali
              pengikat masih terentang ke sudut-sudut tempat tidur. Ia membawa
              sarapan pagi berupa nasi goreng dengan telur mata sapi dan irisan-
              iris an tomat dan segelas susu cokelat. Alamanda sudah bangun dan
              menatap sendu ke arahnya, campur aduk antara mual dan kebencian.
              ”Mari kusuapi kau,” kata Sang Shodancho dengan keramahan yang
              tak dibuat-buat, sungguh-sungguh tulus dengan senyum seorang suami
              kepada istrinya, ”bercinta selalu membuat orang lapar.”
                 Alamanda membalas senyumnya, bukan senyum yang memesona
              itu, tetapi lebih menyerupai cibiran penuh ejekan. Ia memandang Sang
              Shodancho seolah memandang wujud iblis yang telah menjelma, iblis
              yang sejak masa kecil seringkali ia bayangkan seperti apa wujudnya,
              dan kini ia rasanya bisa melihat itu di wajah suaminya. Tanpa tanduk,
              tanpa taring dan tanpa mata yang merah kecuali ka rena kurang tidur,
              tapi yakin itulah iblis.
                 ”Pergilah ke neraka dengan sarapan pagi terkutukmu itu,” kata
              Alamanda.
                 ”Ayolah, Sayang, kau bisa mati tanpa makan,” kata Sang Shodan-
              cho.
                 ”Itu lebih bagus.”
                 Dan memang begitulah kejadiannya: Alamanda jatuh demam di sore
              hari dengan wajah pucat pasi dan suhu meninggi dan tubuh meng gigil.
              Hari itu Sang Shodancho sama sekali tak memerkosanya lagi setelah
              per cintaan sehari semalam. Mungkin karena lelah atau ke puasan yang
              telah melewati ambang batas, atau sebagai satu usaha mem perbaiki

                                           230





        Cantik.indd   230                                                  1/19/12   2:33 PM
   232   233   234   235   236   237   238   239   240   241   242