Page 245 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 245

dengan Sang Shodancho. Kali ini tampaknya ia benar-benar harus pergi
              ke rumahnya, karena Sang Shodancho tampak ja rang masuk ke kantor
              dalam dua bulan terakhir penantian anak pertamanya itu. Mau tidak mau
              tampaknya Kamerad Kliwon harus kembali bertemu dengan Alamanda.
                 Dan begitulah, karena Alamandalah yang kemudian membukakan
              pintu untuknya, dengan jalan yang tertatih menahan beban perutnya
              yang tampak kembung di balik daster putih berbunga-bunga. Sejenak
              ke duanya saling memandang dalam kerinduan yang serta-merta me-
              muncak, dalam satu kehendak bawah sadar untuk menghambur dan sa-
              ling memeluk, mencium dan menangis bersama-sama dalam kesedihan
              berdua. Tapi itu tak mereka lakukan kecuali diam saling me matung,
              bahkan tak ada senyum dan sapaan, kecuali Kamerad Kliwon yang
              memandang Alamanda dan mengaguminya sebagai perempuan yang
              demikian cantik. Ia bahkan jauh lebih cantik dengan kandungannya
              itu, seolah ia tengah berhadapan dengan sosok cantik puteri duyung
              yang menjadi dongeng mitologis para nelayan, atau Ratu Laut Selatan
              yang tak terkira memesona itu.
                 Namun ia sedikit terkejut ketika ia melihat kandungan Alamanda
              seolah ia bisa melihat anak yang meringkuk di dalamnya. Ini mem buat
              Alamanda menjadi tak enak hati, berpikir bahwa laki-laki itu tengah
              membayangkan bahwa seharusnya anak di dalam kandungannya ada lah
              anak-nya. Alamanda ingin sekali meminta maaf atas semua ini, berkata
              bahwa ia mungkin masih mencintainya, tapi nasib buruk telah membuat
              mereka terpisah. Mungkin suatu ketika jika aku telah menjadi janda, kau
              bisa mengawiniku. Tapi apa yang dipikirkan Kamerad Kliwon bukanlah
              hal itu, karena kemudian ia berkata pendek pada Alamanda, ”Perutmu
              seperti panci kosong.”
                 ”Apa maksudmu?” tanya Alamanda merasa tersinggung dan seke-
              tika keinginannya untuk mengatakan semua yang ia pikirkan men jadi
              lenyap.
                 ”Tak ada anak laki-laki maupun anak perempuan di dalamnya,
              sepenuhnya hanya angin dan angin, seperti panci kosong.”
                 Alamanda sungguh-sungguh kesal dengan komentarnya, mengang-
              gapnya sebagai satu hinaan dari seorang laki-laki yang patah hati dan
              menyadari semakin lama ia berdiri di depannya, ia hanya akan men-

                                           238





        Cantik.indd   238                                                  1/19/12   2:33 PM
   240   241   242   243   244   245   246   247   248   249   250