Page 421 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan
P. 421
”Aku tak bisa datang.”
”Kau jahat.”
”Aku tak bisa datang,” kata Krisan dan memberi isyarat pada Reng-
ganis Si Cantik untuk tidak bersuara terlalu keras, khawatir ibu dan
neneknya memergoki mereka. ”Sebab Ai sakit dan kemudian ia mati.”
”Apa?”
”Ai sakit dan kemudian mati.”
”Itu tak mungkin.” Rengganis Si Cantik tampak sedih, dan tampak
mencoba tak percaya.
Krisan melompat dari tempat tidurnya, merogoh mayat itu dari ba-
wah ranjangnya, menariknya dan memperlihatkannya pada Reng ganis
Si Cantik. Mayat Ai terbaring di lantai berselimutkan kain kafan, masih
sama keadaannya seperti ketika Krisan pertama kali membawanya.
Begitu segar, cantik, dan serasa bukan mayat.
”Ia hanya tidur,” kata Rengganis Si Cantik, turun dari tempat tidur
dan memeriksa wajah Ai.
”Bangunkan jika kau bisa.”
Rengganis Si Cantik mencoba membangunkan Ai, tapi jelas itu
sia-sia. Ia mengguncang-guncangnya, membuka paksa matanya, memijit
hidungnya, dan akhirnya ia duduk terisak-isak sendiri menangisi kema-
tian gadis paling dekat dalam hidupnya. Gadis yang selalu ada kapan
pun ia membutuhkannya. Rengganis Si Cantik tiba-tiba menyesal ke-
napa ia tak melibatkan gadis itu dalam usaha pelariannya, mengajaknya
ikut serta ke gubuk gerilya. Ia akan jauh merasa sedih jika tahu bahwa
gadis itu sakit setelah mengetahui ia lari dari rumah, dan kemudian
mati karena itu. Sementara itu Krisan hanya berdiri mematung, hanya
khawatir Rengganis Si Cantik menangis semakin keras membangunkan
ibu dan neneknya, hingga kemudian gadis itu bertanya:
”Kenapa ia ada di sini?”
”Aku menggali kuburannya,” kata Krisan.
”Kenapa kau menggali kuburannya?”
Ia tak tahu jawabannya, atau tak tahu harus menjawab apa pada
Rengganis Si Cantik. Maka ia hanya diam memandang gadis itu, sedikit
salah tingkah, sebelum gagasan cemerlangnya muncul di saat-saat paling
dibutuhkan. ”Untuk melihat kita kawin.”
414
Cantik.indd 414 1/19/12 2:33 PM