Page 60 - E-MODUL_PENDIDIKAN INKLUSI
P. 60
determination hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang dengan disabilitas
ringan, namun hal ini adalah salah.
Kesalahpahaman lainnya adalah bahwa membangun komunikasi yang
kuat dan keterampilan advokasi diri adalah prasyarat untuk melatih self-
determination. Pandangan seperti itu mengabaikan peran lingkungan dalam
memastikan bahwa anak tersebut memiliki kesempatan untuk melakukan
kontrol atas sebanyak mungkin pilihan dan keputusan. Hal ini mengingat
keterampilan komunikasi yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, dan
disertai dukungan lingkungan dengan berbagai cara (baik verbal maupun
nonverbal), bahwa penyandang disabilitas juga mampu untuk menunjukkan
kebutuhan dan preferensinya. Mitos ketiga adalah bahwa mendukung self-
determination pada penyandang disabilitas sebagian besar adalah tidak
masuk akal. Mitos beranggapan bahwa tidak ada cara 'terbaik' untuk
mendukung perkembangan anak dengan disabilitas. Namun, selama tiga
dekade terakhir, sejumlah besar studi penelitian telah dilakukan untuk
mengidentifikasi praktik terbaik dalam mendukung pelaksanaan self-
determination diantara orang-orang dengan semua tingkat dan jenis
kecacatan.
B. Manfaat dari Self-Determination
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mendokumentasikan dampak
self-determination, dalam 30 tahun terakhir ini. Pada konteks sekolah,
pengajaran kapasitas self-determination telah dikaitkan dengan peningkatan
hasil akademik (Fowler, Konrad, Walker, Test, & Wood, 2007; Konnrad,
Fowler, Walker, Test, & Wood, 2007; Lee, Wehmeyer, Soukup, & Palmer,
2010; Shogren et al., 2012), yakni ada keberhasilan yang lebih besar dalam
mencapai tujuan akademik dan transisi, dan akses ke kurikulum pendidikan
umum dalam lingkungan pendidikan inklusif (Lee, Wehmeyer, Palmer,
Soukup, & Little , 2008). Catatan yang kurang positif dari penelitian ini juga
menunjukkan bahwa pengajaran yang menargetkan kapasitas yang lebih
besar dan penyediaan kesempatan untuk mengaktualisasikan self-
determination yang lebih besar, di sebagian besar negara jarang dimasukkan
dalam program pendidikan siswa penyandang kecacatan (Arnold &
Czamanske, 1991; Izzo & Domba, 2002). Selain itu, Algozzine, Browder,
Karvonen, Test, dan Wood (2001) menemukan bahwa intervensi untuk
mengajar kapasitas yang terkait dengan self-determination seringkali hanya
berfokus pada siswa dengan ketidakmampuan belajar (di sekolah menengah
atau yang lebih tinggi) serta siswa penyandang disabilitas lainnya, dimana
dengan Sebagian besar hasil mengarahkan pada upaya stimulasi yang tidak
konsisten.
Selama beberapa tahun pertama kehidupan, self-determination seorang
anak terbatas pada bidang-bidang di mana orang tua memberikan
kesempatan baginya untuk memilih. Namun, seiring dengan berkembangnya
dunia sosial anak yang lebih muda, maka semakin banyak waktu yang
dihabiskannya di luar keluarga, dengan teman sebaya dan pengasuh
57