Page 173 - PDF Compressor
P. 173
“Dengan mengucapkan bismillah<.dan rasa syukur ke hadirat Allah
Swt. maka pameran ini dinyatakan dibuka secara resmi<semoga Allah
meridloi acara kita ini<,” ucap Gubernur sebelum mengayunkan
tangannya memukul gong.
Dengan kalimat langsung, pemeran Gubernur tersebut dapat
melahirkan pandangan dari pembaca tentang karakter Gubernur,
misalnya, agamis, religious, dan sebagainya karena Gubernurnya dari
partai Islam, dan lain sebagainya.
Jurnalisme sastra mampu memberi ruang pada kepekaan rasa
wartawan dengan kebutuhan khalayak akan momen kemanusiaan.
Jurnalisme sastra juga membuka kontak personal wartawan dengan
pembaca secara pribadi dengan penuh emosi. Namun, pelaporan
jurnalisme sastra akan tercapai jika terjadi kesepahaman antara editor dan
reporter, di antaranya dalam hal penggunaan teknik naratif, proses
reportase untuk laporan, dan membedakan siapa yang menulis dan
menyunting. Bahkan, antara wartawan dan editor harus memiliki aroma
rasa yang sama, sehingga tidak terjadi proses penyuntingan yang
berlebihan yang dapat menghilangkan karakreristik rasa yang dimiliki
wartawan.
Memandang jurnalisme sastra sebagai praktik produk berita yang
kreatif, Andreas Harsono (2005) berpendapat bahwa jurnalisme sastra
lebih dalam dari berita pendalaman; ‚Jurnalisme Sastra bukan saja
melaporkan seseorang melakukan apa, tapi ia masuk ke dalam psikologi
yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu.
Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik.‛ Maka tak
heran bila Wolfe mengungkapkan unsur penting yang juga terdapat pada
proses penyajiannya ialah ‚waktu riset dan wawancara biasanya panjang
sekali, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam.
2. Teknik Jurnalisme Sastra
Seperti halnya membuat cerpen atau novel, membuat karya
jurnalisme sastra memerlukan teknik penceritaan yang cermat. Penulis
harus rinci mencatat semua peristiwa, termasuk penganalogian fakta
yang senyatanya terekam dengan teknis jurnalistik dipadupadankan
dengan kemampuan bergaya bahasa. Namun, kalau menulis cerpen atau
novel, fakta bisa didapat dari imajinasi penulis, sehingga dengan
‚berkhayal‛, penulis bisa mendapatkan fakta tersebut. Penulisan
jurnalisme sastra tidak seperti itu, penulis harus tetap konsisten pada
fakta yang merupakan realita atau yang benar-benar terjadi. Bahkan fakta
merupakan ‚data suci‛ yang harus ada, sehingga penulisan jurnalisme
171