Page 176 - PDF Compressor
P. 176
d. Suara, dalam artian posisi penulis dalam tulisan tersebut.
e. Tanggung jawab, penulis harus mampu menampilkan nilai
pertanggung jawaban.
f. Simbolisme, setiap fakta yang kecil sekalipun merupakan
gagasan yang sengaja disusun karena terkait makna yang
lebih dalam.
Keenam elemen tersebut secara tersurat menggambarkan
eksistensi penulis atau wartawan dalam tulisan jurnalisme sastra. Ia harus
betul-betul eksis tidak hanya sebagai penulis, tetapi juga merupakan
bagian pemeran dalam peristiwa yang terjadi. Oeh karena itu, wartawan
yang menulis jurnalisme sastra harus benar-benar menceburkan diri pada
peristiwa sejak awal sampai akhir, sehingga ia dapat bertutur dengan
runtut tidak hanya menggambarkan peristiwa, tetapi menarasikan semua
unsur news, yakni 5W+1H.
Elemen itu pulalah yang mendorong wartawan ketika menulis
karya jurnalisme sastra harus runtut memenuhi aturan penyajian,
sehingga karyanya betul-betul memuaskan pembaca. Setidaknya ada
sembilan aturan penulisan jurnalisme sastra sebagai berikut.
Pertama, wartawan harus melakukan riset mendalam dan
melibatkan diri dengan subjek. Jurnalisme sastra membutuhkan waktu
yang lama dalam melakukan reportase. Data yang didapat harus betul-
betul akurat dan mendalam. Para jurnalis sastra pun harus lebih
mendekatkan diri kepada sumber agar data yang ada semakin akurat.
Jurnalis juga harus mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap perilaku
sumber berita atau pemeran utama yang merupakan jawaban dari who.
Kedua, wartawan harus jujur kepada pembaca dan sumber berita.
Harus diyakini bahwa pembaca merupakan hakim yang tidak boleh
dibohongi penulis. Ketika menulis jurnalisme sastra, bahkan sebetulnya
ketika menulis apapun yang merupakan bagian dari news, hal yang
paling berharga yang harus dijaga oleh wartawan adalah trust. Dalam
berbagai aturan terkait dengan kepenulisan news, termasuk di dalamnya
Kode Etik Jurnalistik ditegaskan bahwa wartawan tidak boleh bohong.
Hal itu harus dilakukan berangkat setidaknya dari dua alasan yang
fundamental. Pertama, bohong itu salah satu dosa besar dalam ajaran
agama manapun. Jika berbohong pada satu orang, maka ia telah
melakukan dosa besar pada satu orang. Jika kebohongan dilakukan oleh
wartawan dengan menggunakan media massa, maka ia berdosa
besaarnya pada banyak orang sesuai dengan jumlah pembaca bagi media
cetak atau jumlah pendengar bagi radio atau jumlah penonton bagi
televisi. Kedua, bohong itu dapat menghilangkan kepercayaan. Jika
174