Page 117 - 9 dari Nadira
P. 117

'fasbih





                      "Nama ibu Anda berinisial MT
                      Bapak X terkekeh-kekeh.
                      "Berinisial  M,  beranak  lelaki  satu  orang;  anak lelaki

                yang tak diinginkan; yang tak jelas siapa ayahnya .. ."
                      Nadira mulai tercekam. Keterangan ini tak adadi dalam
                arsip serse.  i a  bisamendengar langkah Ray mendekati pin­
                              D
                tu dan ikut mendengarkan, meski dia memenuhi janji pada
                Nadira untuk tak mencampuri wawancara itu.
                      Bapak X merasa senang ada hadirin yang sungguh ber­

                minat pada ucapannya. Dan "hadirin" itu bernama Nadira
                Suwandi. ltu membuat dia terangsang untuk berkisah.
                      "Jadi. .. keenamnya adalah perempuan par uh baya yang

                sendirian, yang membenci anaknya s e ndiri, dan membenci
                predikat sundal dari masyarakat .. ."
                      "Saya tak percaya ... Saya tak percaya mereka adalah

                ibu yang jahat. ltu semua karanganmu sa j a," Nadira mulai
                emosional.
                      Bapak X  tersenyum, "Tentu  saja ... Tentu saja kau tak

                percaya ..  I bumu  mencintai  kalian  seperti  seeker  induk
                         .
                burung yang sayapnya meringkus kalian bertiga ke dalam
                satu pelukan yang ketat, yang protektif dan penuh cinta .. ."
                      Nafas Nadira tertahan. U ntuk kali pertama, ada pera­

                saan yang asing yang mulai tumbuh; campuran rasa takut,
                benci, sekaliguskagum pada Bapak X. Psikiater  n i   memang
                                                                          i
                cerdas. Melalui perkiraan, serta membaca informasi kema­

                tian ibunya  i   beberapa media, tiga tahun si l am-seorang
                               d
                                                           d
                                                                             i
                istri wartawan senior tewas bunuh  i r i - p sikiater  n i   sudah
                bisa membuat sebuah kesimpulan yangjitu.
                      "Nah,  sekarang  saya  harus tahu:  bagaimana  ibumu
                menghabiskan  nyawanya?  Racun?  Pil  tidur?  Yang  pasti
                bukan gantung diri, itu terlalu purba ...  ," Bapak X tertawa ha­

                lus. Bapak X terkekeh-kekeh. Matanya berkilat-kilat karena
                merasa Nadira sudah masuk dalam teras rumahnya.


                                                   110
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122