Page 125 - 9 dari Nadira
P. 125
'fasbih
dari dalam ranselnya dan mengusap-usap bibirnya.
"Kamu membencinya ... ," Bapak X terlihat menikmati
raut muka Nadira yang berkeringat.
Nadira mulai masuk kedalam arenayangdibentangkan
X
Bapak . Psikiater itu pasti cerdas dan licin. Seperti tukang
sihir dalam dongeng anak-an1ak H a nsel dan Gretel, yang
membujuk lidah anak-anak dengan rumah gula-gula. Ba
d
pak X tahu betul, ada sesuatu yang hitam dan membusuk i
dasar hati Nadira yang perlu dicungkil dan dikeluarkan.
"Ceritakan ... bagaimana kakakmu melolong waktu
menemukan ibumu tewas .. "
.
"Bagai man a Anda tahu i a melolong?"
d
Oh, betapa kilat-kilat matanya mengerjap bahagia.
Nadira terdiam, dan d i a masih bisa mendengar suara lo
longan Y u Nina.
"I bu selalu menginginkan bunga seruni. .. ," tiba-tiba
Nadira berbicara, lebih untuk dirinya s e ndiri.
"Ya ... ," Bapak X seolah-olah paham, "kalau saya di
eksekusi nanti, saya juga sudah mempunyai permintaan
khusus .. ."
d
Nadira seperti tak lagi berada i ruangan itu. D i a su
dah terlempar lagi ke dalam kehidupan nya tiga tahun si lam,
ketika dia menyeruak seluruh Jakarta untuk mencari bunga
s e r uni demi ibunya.
"I bu tidak mau bunga melati. .. dan Yu Nina terus-me
nerus melolong; menangis tersedu-sedu ... ," Nadira meng
ucapkan itu sembari menerawang.
Bapak X perlahan tersenyum. Nadira sudah masuk
dalam genggamannya. Alangkah lezatnya. Bapak X mena
han diri untuk tidak menyentuh jari-jari Nadira, khawatir
Nadira terbangun dari keasyikannya.
"Aku tak pernah paham kenapa I bu memutuskan untuk
mati."
118