Page 199 - 9 dari Nadira
P. 199

�ebilah Pisau





                dan rnenggarnbar. Tapi  tak pernah  berhasil. Sernua gelon­
                dongan kertas berakhir di tern pat sarnpah. Aku hanya ingat
                kaki Nadira yang dibungkus sepatu kets yang rnuncul dari

                kolong rneja itu.
                      Tiba-tiba aku tak paham,  kenapa hatiku  seperti  ikut

                ditarik oleh  sebuah batu  besar  dan  perlahan  rnelayang ke
                dasar danau.


                                                  ***

                Aku rneninggalkan sehelai sketsa di atas rnejanya ketika dia

                sedang tertidur di kolong rnejanya. Kolong rneja itu sudah
                rnenjadi "rurnahnya·. Sketsa  a j ah Nadir  a ketika dia sedang
                                                   w
                tertawa rnendengar gurauan  Guntur  Wibisono,  pernirnpin

                redaksi karni. Aku rnenulis not a keci I:


                      Aku tak b i s a   membayangkan gelapnya duniamu,

                      Nadir a. Tapi kami semua menemani kamu ...
                      mudah-mudahan suatu hari kami b i sa   melihat
                      wajahmu seperti ini.



                      Kris.

                                       (


                                       '







                                                  ***


                Guntur Wibisono adalah seorang penyair, sebelurn dia rnen­

                jadi seorang Pernirnpin Redaksi. Dan seluruh dunia tersirap
                oleh kata-katanya, kecuali Nadira. S e t iap kali Mas G, derni­
                kian karni rnernanggilnya, rnemasuki ruang redaksi di lantai


                                                   192
   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204