Page 206 - 9 dari Nadira
P. 206

l:ieila ,§.  Chudori





                       Pertanyaanku tak kunjung dijawab. Di lantai tujuh, dia
                 menyambar ranselnya dan mengajak aku pergi ke luar kan­
                 tor. Aku merasakan seluruh isi warga lantai tujuh mengikuti

                 tingkah laku Nadira dengan ekor matanya.
                       Pemakaman Tanah Kusir siang itu tidak terlalu ramai.
                 Hanya berisi nisan, rumput gersang, dan angin kering mu­

                 si m    kemarau. Aku mengikuti  langkah  Nadira yang begitu
                 lincah seperti baru saja menenggak obat perangsang. Kami
                 berhenti di muka sebuah makam yang diberi nisan batu hi  tam

                 yang sangat sederhana.


                       Bersama tanah, d e d a unan, dan batu-batu

                       Bersama d o a   dan rindu
                       /bu, istri, dan kakak kami, Kema/a Suwandi
                       Pergi d i   sebuah pagi

                       Untuk b e r j u m p a   k e m b a l i ,  suatu hari


                               Lahir: Tanjungkarang, 9 September, 1932

                               Wafat: Jakarta, 10 Desember, 1991


                       Aku hampir yakin, itu adalah hasil tulisan Nadira. Tetapi
                  aku  tak  sempat  bertanya  apa-apa,  karena  kulihat  tangan

                 Nadira membersihkan beberapa helai rumput teki yangmulai
                 tumbuh di pinggir makam ibunya. D i a   menunduk sebentar
                  dan berdoa. Aku juga menunduk dan pura-pura berdoa meski

                 ekor mataku menruri pandangmemperhatikan Nadir a. H anya
                 beberapa menit, lalu dia meletakkan sketsa buatanku di atas
                 makam ibunya. Setelah Nadira mengusap wajahnya sendiri,

                 barulah dia mengajak aku kembali ke kantor. Angin kering itu
                 berhembus. Bintik keringat d i   wajah  Nadira itu ....  akhirnya
                 aku mengambil tisu dan, entah bagaimana, tanganku seperti

                 memiliki  ruhnya sendiri. Tangan itu mengusap  keringat di
                 kening Nadira. Nadira perlahan-lahan tersenyum.


                                                   199
   201   202   203   204   205   206   207   208   209   210   211