Page 80 - 9 dari Nadira
P. 80
}v1elukis. bangit
berguru pada ayahnya. ("Sebetulnya apa latar belakang Petisi
50, Yah? Tolong ceritakan. Ayah kenal Ali Sadikin, kan? I bu
S.K. Trimurti? Kenapa mereka menyebut kelompok pejabat
itu Berkeley Mafia, Yah?" Dan s e t erusnya). Dan sang ayah,
seorang wartawan senior yang dihormati itu, dengan se
nang hati menceritakan semua latar belakang politik dan
ekonomi republik yang dia ci ntai ini. Terkadang dia ber
semangat hingga suaranya menggedor jendela saking ting
ginya; terkadang matanya berkaca-kaca karena banyak
sekali tokoh yang dia ceritakan itu kini tengah dipenjara.
Nadiramencatat itu semuadengan takzim. Dan itu membuat
Ayahnya terhibur.
Nampaknya, selamafase"rmenemani" sang ayah, Nadira
dan kedua kakaknya lupa bahwa ibunya juga sudah rapuh.
D i suatu pagi yang murung, Nadira menemui w a j ah
ibunya yang biru di pinggir tempat tidur ("Mula-mula aku
mengira ia s e d ang tidur di lantai. Malam-malam I bu sering
kegerahan; Nadira berbisik kepada Utara Bayu, pada hari
penguburan ibunya. Tanpa ratapan. Tanpa air mata). Nadira
ingat, itulah satu-satunya saat Utara menggenggam tangan
Nadira dan mengucapkan duka citanya. H a nya saat itu dia
tahu, Utara Bayu yang jarang bicara dengan para reporter
itu ternyata bukan sesosok mesin yang hanya mampu me
ngeluarkan perintah.
Kematian ibunya yang mendadak telah membuat
Nadira begitu tua. Sejak penguburan ibunya setahun silam,
l i n gkaran hitam di bawah kedua matanya tak pernah
hilang. Dan sejak kematian itu pula, Nadira memandang
d
segala sesuatu i mukanya tan pa warna. Semuanya tampak
kusam dan kelabu. D i a tidur, bangun, dan merenung di
D
kolong meja kerjanya. S e tiap hari. i a hanya pulang sesekali
menjenguk ayahnya, tidur semalam dua malam di rumah,
72