Page 81 - 9 dari Nadira
P. 81
Geilo ,§. Chudori
untuk kembali lagi merangsek kolong meja itu.
Aryasemakin seringbertapadi dalam hutan dan seperti
tak ingin keluar lagi dengan alasan hutan jati d i Indonesia
membutuhkan insinyur kehutanan seperti dia: pecinta po
hon dan dedaunan. Pecinta alam yang menghargai anuge
rah Tuhan dan merasa bertugas menjaganya. Hubungan
Arya dengan berbagai kekasih {dari yang luar biasa cantik,
hingga yang luar biasa cerdas) tak pernah ada kelanjutan.
Arya menjadi anggota keluarga Suwandi yang lama sekali
membujang.
Nina tak berminat pulang ke Jakarta. Nina tak pernah
d
berminat dengan apapun i I n donesia. Bagi dia, adalah hak
nyauntuk memil i h berdomisi I i di New York dan membiarkan
keduaadiknyamenguruskepusingan keluarga. Nadirameng
anggap kakaknya masih ter!uka akibat kepergian ibunya
yang begitu mendadak.
Hanya Nadira sendiri yang menghadapi ayahnya. Nadira
memperhatikan tawa ayahnya yang terkekeh-kekeh itu se
bagai sebuah upaya untuk mengusir air matanya yang selalu
mendesak keluar. Nadirajugatahu ketak-ketok bakiak ayah
nya setiap jam tiga pagi adalah bunyi detak jantung ibunya
yang saling berkejaran dengan bunyi lonceng kematian.
Dan kini, dia juga tahu, meski ayahnya sedang duduk
di muka televisi, menyaksikan adegan demi adegan tanpa
berkedip, pikiran ayahnya beradajauh melayang-layang ke
lapangan jurnalistik: ke pertemuan OPEC, I G G I , berbagai
negara Afrika yang pernah d i a sentuh bersama wartawan
senior lainnya. Sudah jam delapan. Ayahnya segera me
matikan televisi. ("Saya tak sanggup melihat acara gun
ting pita dan pukul gong. Semuanya adalah pameran ke
pandiran,'' ujar ayahnya. Dan itu d i l a kukan secara rutin
se j ak kematian ibunya). Ayahnya memasukkan kaset video
7"1J