Page 86 - 9 dari Nadira
P. 86

Jv1elukis. bangit





                      "Ah,  politik Filipina kan  selalu ada ancaman itu setiap
                men  it. Biasa, Yah. Orang mendiskusikan tentang kudeta se­

                enteng orang bilang mau ke pasar. Begitu saja  ..  . "
                      "Tapi itu bukan sekadar gertak samba!. Hotel mu dijaga
                ketat?  Dan  sebaiknya  kau  ke  mana-mana dengan  si  Tony
                   .
                saia ...  .
                      • Tenanglah, Yah. Aku mengenal Manila seperti menge­
                nal pori-pori tubuhku sendiri."
                      "Nadira, hati-hati dengan  anak buah  En  i le."
                                                                       r
                      Nadira tertawa sembari mengambil  tape recorder dari
                dalam ranselnya dan mengecek kaset yang masih  kosong.
                      "Yah,  mereka  bukan  mafioso.  T e nanglah.  Besok  aku

                akan mewawancarai E n r i l e d i   Makati."
                      "Sudah dapat janji?"
                      Nadira  memasuk-masukkan  kaset  kembali  ke  dalam

                tas,  mengeoek  bolpen  dan notes sambil  memindahkan  kop
                teleponnya dari telinga kiri ke telinga kanan.
                      "Ya,  sudah,  dong. Sama Fide l  Ramosjuga sudah. Peja­

                bat  tinggi  Filipina  kan  tidak  seperti  kebanyakan  pejabat
                tinggi  I n donesia,  sok  penting.  Sok  memandang  rendah
                sama wartawan."
                      "Kenapa tidak sekalian dengan presidennya saja?"

                      "Ah,  Ayah .. ."
                      "Kenapa tidak? Ayah dulu ketika mewawancarai I ndira

                Gandhi. . ."
                      "Ya,  Ya ...  ,  aku  ingat  Ayah  sudah  wawancara  Indira
                Gandhi."
                      "Oh, kalau soal  wawancara Jenderal  Zia-ul-Ha q ?   Ayah

                dikasih pisau  pembuka surat yang bergagang marmer  itu?
                Lantas dipajang di kantor Ayalh?"
                      "Sudah, Yah. Sejak aku di SD, Ayah sud ah pernah meng­

                a j ak aku  ke kantor Ayah supaya bisa lihat  pisau  bergagang
                marmer itu."


                                                    78
   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91