Page 119 - dear-dylan
P. 119
Aku mengusap air mataku yang berleleran di pipi, dan berusaha mengingat-ingat semua
omongan Dylan siang tadi.
“Dia berlagak pura-pura nggak tau! Waktu gue bilang gue sudah tahu dia ada main sama
cewek lain, dia malah nanya main sama cewek lain apa?! Huh! Dia kira gue bakal percaya kata-
katanya lagi?! No way!”
Grace diam, sepertinya dia sedang memutar otak.
“Lice, sori nih, tapi gue rasa... Dylan nggak mungkin deh nyeleweng.”
“Hah?!” pekikku kaget. “Grace, tolong deh! Gue butuh bukti macam apa lagi? Di infotainment
ada gambar dia ciuman sama Regina, Grace! CI-U-MAN!”
“Tapi itu kan cuma cipika-cipiki biasa, Lice... Di kalangan seleb seperti Dylan, itu nggak
berarti apa-apa.”
“Oh yaaa?” tanyaku sinis. “Dan kalaupun itu nggak berarti apa-apa, memangnya aku bakal
percaya Dylan benar-benar nggak neyeleweng? Ayolah, Grace, mana ada cowok yang bakal milih
gue kalau ada cewek seperti Regina Helmy di depan muka?”
“Ada. Dylan, kan?” Grace mengedipkan sebelah matanya sambil cengengesan.
“Huuuhh! Bodo ah!” Aku melempar bantal ke muka Grace, tapi dia dengan sigap
menangkapnya.
“Gue masih nggak percaya Dylan neyeleweng. Lo harusnya dengerin penjelasan dia dulu
tadi. Lagian, dia bukannya masih tur Sumatra? Kenapa dia ada di Jakarta? Jangan-jangan dia
sengaja balik ke Jakarta buat ngajak lo bicara, Lice?”
“Hah! Siapa tahu malah dia mau mutusin gue duluan sebelum gue yang mutusin dia karena
lihat berita di infotainment!”
“Ah, ngobrol sama lo memang susah kalau lo lagi emosi begini.” Grace berdecak lalu turun
dari ranjangku.
“Lho, lo mau ke mana?”
“Pulang aja deh. Ngasih saran ke lo nggak didengar, juga.”
“Eeehhh... jangan ngambek gitu dong, Grace! Gue lagi broken heart nih, baru putus! Gue
butuh lo buat jadi teman curhat, hikss...” Aku mulai banjir air mata lagi. Kenapa sih, aku baru
putus, tapi temanku malah mau ngabur? Apa kabarnya sahabat setia yang diam mendengarkan
semua curhatku (seperti yang di film-film itu lho), membelai rambutku saat aku patah hati dan
berkata bahwa dia mengerti perasaanku? Grace malah membela Dylan!
“Habisnya, lo childish gitu sih...”
“Gue? Childish?”
“Iya. Gue rasa lo masih marah sama Dylan karena dia nggak menuruti rengekan lo untuk
membatalkan kontrak, jadinya lo gampang tersulut emosi waktu nonton gosip nggak bener
tentang Dylan nyeleweng itu.”
“Hah? Jadi gue yang salah, gitu?”
“Gue nggak bilang lo salah. Gue cuma menyayangkan lo nggak ngasih Dylan kesempatan
untuk bicara. Gimana kalau dia menganggap serius kata-kata lo untuk putus?”
Aku tercekat. Beberapa jam terakhir ini, sejak aku membanting pintu kamar di depan Dylan,
lalu Dylan pergi dan Grace datang, aku sama sekali nggak memikirkan itu. Yang berputar di
otakku cuma sakit hati karena Dylan tega-teganya menduakan aku. Tapi sekarang setelah Grace
bilang seperti itu, aku jadi kepikiran...
Bagaimana kalau Dylan menganggap serius kata-kata “putus”-ku?
“Oh, gue memang serius kok! Siapa juga yang masih mau jalan sama dia!”