Page 123 - dear-dylan
P. 123

IT’S OVER (AGAIN)









               “THANKS ya, Dik, you’re my best pal!”
                    “Ah, sama-sama. Asal nanti kalau adik gue yang centil itu ngintip-ngintip, jangan lo ajak
               ngobrol ya, bisa kege-eran dia!”
                    “Sip!” Gue mengacungkan jempol, dan merebahkan diri di ranjang Udik, teman kuliah
               gue  (iya,  iya,  gue  tahu  gue  lagi  cuti  kuliah,  tapi  kan  Udik  tetap  statusnya  “temen  kuliah”
               gue!).
                    Setelah menjelaskan tentang kenapa gue bisa ada di infotainment dengan berita mencium
               cewek di Batam lewat telepon pada Mama tadi siang, gue langsung menuju rumah Udik. Mau
               gimana lagi, coba? Rumah gue penuh dikerubungi wartawan, padahal tiket Jakarta-Jambi gue
               adalah tiket yang gue pesan untuk tanggal besok! Gue nggak mungkin tidur di jalanan, kan?
               Tapi kalau gue nekat pulang ke rumah, itu cari mati namanya!
                    Untung gue kepikiran untuk pergi ke rumah Udik. Gue sedang bener-bener nggak mood
               menjawab pertanyaan para wartawan itu. Terserahlah mereka mau menggosipkan gue apa,
               gue nggak peduli lagi!
                    Infotainment sudah membuat gue kehilangan Alice...
                    Yah, begitulah. Gue memutuskan untuk numpang di rumah Udik semalam. Lebih baik
               daripada menginap di hotel, karena di rumah Udik gue bisa sekalian punya teman ngobrol.
               Tampangnya memang sempat kaget waktu melihat gue muncul di teras rumahnya, tapi dia
               langsung  dengan  sigap  menyeret  gue  masuk,  karena  kepingin  mendengar  sendiri  semua
               penjelasan tentang pemukulan Yopie, rusuhnya konser Skillful, dan gue yang, menurut istilah
               dia, punya mainan baru bernama Regina Helmy.
                    Hah! Gue nggak nyangka Udik ternyata penyimak infotainment juga!
                    “Hoi! Bengong lo! Ayam tetangga gue pada mati semua nanti!” Udik menepuk kaki gue
               keras-keras. “Tuh, saking seriusnya bengong, sampai digigitin  nyamuk  aja nggak kerasa!”
               Dia  menunjukkan  tangannya  yang  belepotan  darah,  dengan  bangkai  nyamuk  kecil  di
               tengahnya. Gue mengerling kaki gue, di tempat yang ditepuk Udik tadi, dan mendapati di situ
               juga ada bercak darah.
                    Hhh... ternyata putus cinta bikin mati rasa juga, ya? Gue sama sekali nggak merasa ada
               nyamuk yang menyedot darah gue sebegitu banyak.
                    “Nih, daripada bengong, lo bantu gue deh.”
                    “Bantu apaan?”
                    “Lupa,  ya?  Lo  nyuruh  gue  handle  Friendster  lo,  dan  sekarang  banyak  cewek  kirim
               message nih! Gue harus balas apa?”
                    “Terserah lo deh. Lo kan yang paling jago ngurusin cewek gitu!”
   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128