Page 172 - Gadis_Rempah
P. 172

“Bu ... semoga tidak terlambat ya, Bu,” ujar Arumi  “Ya, Ibu. Jangan! Bisa lama kita sampainya,”
 gelisah. Entah sudah berapa kali gadis itu melihat jarum  cegah Arumi.
 berputar di jam tangannya.”  Naning   kembali  tersenyum   melihat
 “Sabar,  Arumi.  Paman  dan  bibimu  pasti  setia  ketidaksabaran putrinya.
 menunggumu. ‘Kan kamu pemilik kafe itu,” ucap Naning  “Baiklah, Pak. Pilih jalan lain saja,” pinta
 seraya menenangkan putri semata wayangnya itu.  Naning yang diikuti anggukan sopir.

 “Iya Bu, tapi ‘kan ini launching  kafeku. Gak  pantas  Tidak  lama  kemudian,  nyala  lampu
 banget  kalau  aku  terlambat,”  Arumi  tak  berhenti  merah di perempatan membuat mobil kembali
 memandang berganti antara jam tangan dan kaca jendela.   berhenti. Dari kaca jendela Naning melihat
 Kegelisahan tergambar jelas di raut wajahnya.  beberapa tukang becak sedang bersantai di
 “Ya, kita berdoa saja, semoga kita tidak terlambat, Nduk ….”  depan sebuah ruko tua. Naning memandang
 Sentuhan lembut Naning di bahu Arumi membuat  cermat untuk memastikan, tidak ada Wak
 gadis itu perlahan tenang. Arumi menatap wajah teduh  Parjan di sana.
 ibunya. Senyumnya yang sederhana, pipi dan keningnya  Naning menghela napas panjang. Tiba-tiba
 yang mulai penuh dengan kerutan, serta kedua matanya  ingatannya kembali ke beberapa hari yang lalu
 yang menatap Arumi penuh kasih. Arumi merasa itu adalah   saat terakhir kalinya Wak Parjan mengantarnya
 wajah yang paling dirindukannya. Wajah terindah yang  pulang dari Pasar Pabean.
 dimiliki ibunya sepanjang hidupnya.  “Datanglah  saat  hari  pertama  Arumi
 Tentu saja ini bukan saja hari bahagia buat Arumi,  membuka kafenya, Jan. Seperti yang almarhum
 melainkan juga buat Naning. Sama sekali bukan karena ia   suamiku dulu pernah bilang, sampeyan sudah
 bisa bebas sejenak dari pekerjaannya dengan gunungan  seperti keluarga kami sendiri,” Naning membuka
 rempah di Pasar Pabean, melainkan karena hari ini putrinya   obrolan. Dia merasa, tidak biasanya Wak Parjan
 membuktikan kecintaannya pada rempah terwujud dalam   diam sepanjang jalan. Naning berpikir, dengan
 sebuah kafe inisiatifnya sendiri. Sungguh pencapaian yang   menyebut suaminya, Wak Parjan pasti mau
 tidak pernah dibayangkan Naning sebelumnya. Sungguh  datang karena pria tua itu sangat kagum dan
 kejutan yang tak pernah disangka-sangkanya. Sungguh  segan pada suaminya.
 kebahagiaan yang sempurna bagi keluarga besar Naning.  “Tidak, Ning. Terima kasih. Aku sudah
 Satu kilometer mendekati Pasar Pabean, Pak Wisnu  beli tiket kereta untuk pulang kampung
 menawarkan jalan alternatif agar tidak terjebak kemacetan.  besok,” jawab Wak Parjan tenang sambil terus

 “Tidak apa. Lewat sini saja,” saran Naning pada sopir.  mengayuh becaknya.


 163  Bab 12 — Dari rempah turun ke hati         Gadis Rempah  164
   167   168   169   170   171   172   173   174   175   176   177