Page 173 - Gadis_Rempah
P. 173
Naning terkejut dan menoleh ke belakang. “Loh, mau Naning terdiam dan sudah tak punya pertanyaan lagi.
pulang kampung dan tidak balik ke Surabaya lagi, Jan?” tanya Itulah hari terakhir dirinya menikmati panas dan debu
Naning penuh rasa ingin tahu. Jawaban Wak Parjan benar- Surabaya sambil duduk di becak. Itulah, terakhir kalinya,
benar di luar dugaannya. dia menikmati naik becak sambil menyusuri jalur rempah
“Betul, Ning. Aku mau ke kampung lagi. Sudah terlalu di sungai Kalimas, Jembatan Merah, dan jalan-jalan tua lain
lama aku meninggalkan kampung halaman. Saatnya di Surabaya.
kembali mencangkul dan menanam.” “Bu! Ibu kok ngelamun aja, sih! Ayo turun! Kita sudah
sampai ini. Berkali-kali Arumi mencolek bahu ibunya.
Naning terdiam. Baru kali ini rasanya ia mendengar
Buyar sudah lamunan Naning.
Wak Parjan berkata teramat serius dan bijak.
“Lalu, becak ini bagaimana?” tanya Naning lagi.
Wak Parjan tersenyum. “Becak ini kuberikan ke
Yanuar. Dia senang. Katanya becak ini cocok diletakkan di Begitu turun dari mobil, Naning terpukau dengan apa
bagian luar kafe Kembang Lawang milik Arumi. Pas buat yang dilihatnya. Rumah sederhana peninggalan ayahnya
tema rempah katanya. Bisa buat foto-foto pengunjung juga yang selama ini dikontrakkan oleh Yanuar, kini telah
katanya. Syukurlah kalau ada manfaatnya.” berubah menjadi sebuah kafe rempah yang cantik.
Kata-kata Wak Parjan yang diucapkan dengan tenang Deretan serai wangi menjadi pagar hidup yang membatasi
seperti mengunci bibir Naning. Dia tahu Wak Parjan begitu kafe dengan jalan raya. Aroma rempah semerbak keluar dari
menyayangi becaknya. Akan tetapi, kali ini, dia sungguh- dinding berpartisi yang Naning yakini sebagai dapur. Semua
sungguh melepaskannya. Namun, Naning kemudian ornamen rempah yang banyak menghiasi dinding seolah
merasa tenang. Yanuar kakaknya pasti memberikan ganti menyapa Naning ramah.
dengan nilai yang sepadan. “Bagus sekali kafe ini, Nduk,” ucap Naning masih dengan
“Ehm, lalu ... Pras bagaimana? Apakah dia tahu wajah tak percaya melihat semua yang disaksikannya.
keputusanmu ini, Jan?” kali ini Naning bertanya sangat Melihat ibunya masih mematung dan terkagum-kagum,
hati-hati. Bagi Wak Parjan, Pras sudah seperti anak sendiri, Arumi tersenyum sambil menggandengnya. Perlahan,
begitu yang sering dikatakan Wak Parjan pada Naning. keduanya memasuki kafe rempah Kembang Lawang.
“Ya, aku sudah beri tahu Pras. Kukatakan padanya, sudah
“Ayo, Bu. Paman Yanuar dan Bibi Ranti sudah
cukup Nak, kau membalas budi. Bahkan, sudah lebih dari
menunggu kita di dalam,” ajak Arumi.
cukup. Sekarang, Paman mau kembali ke kampung halaman.
Di dalam kafe sudah cukup ramai. Yanuar tampak
Kalau kau menikah nanti, jangan lupa kabari Paman.”
serius berbincang dengan para pramusaji. Sementara
165 Bab 12 — Dari rempah turun ke hati Gadis Rempah 166