Page 433 - Membersihkan Nama Ibn Arabi_Dr. H. Kholilurrohman, MA
P. 433
Membersihkan Nama Ibn Arabi | 431
Shifât). Padahal tidak pasti demikian. Karena bisa jadi penisbatan
tersebut hanya penisbatan mudlâf dan mudlâf ilaih saja. Dan tidak
semua nisbat idlafâh semacam ini bermakna sifat. Seperti dalam
firman Allah dalam QS. Shad: 72 tentang nabi Adam: “Wa Nafakhtu
Fîhi Min Rûhî…”, makna ayat ini bukan berari Allah memiliki sifat
ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada nabi
Adam. Tetapi makna ayat tersebut adalah idlâfah at-tasyrîf; artinya
ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allah. Maka itu jelas
sebuah kesalahan bila setiap ayat dalam bentuk mudlâf dan mudlâf
ilaih dianggap sebagai pengertian sifat.
Ke dua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks al-Qur’an
atau teks-teks hadits mutasyâbihât adalah teks-teks yang tidak
diketahui maknanya kecuali oleh Allah saja. Kemudian mereka
berkata; “Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan
teks-teks tersebut sesuai zhahirnya”. Pernyataan mereka ini adalah
pernyataan yang sangat aneh dan bodoh. Mereka mengatakan
bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh
Allah saja, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks
tersebut dengan makna zhahirnya sesuai apa yang mereka inginkan.
Padahal kata “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah
“tangan”; anggota badan yang tersusun dari jari-jemari, daging,
tulang, darah, dan lainnya. Kemudian kata “’ain” makna zhahirnya
tidak lain adalah anggota mata yang berada di kepala. Juga kata
“istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau kata
“yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah
tempat dari atas ke bawah. Apakah makna-makna zhahir semacam
ini sesuai begi keagungan Allah?! Bila tidak, lantas mengapa
dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna
zhahirnya?!