Page 434 - Membersihkan Nama Ibn Arabi_Dr. H. Kholilurrohman, MA
P. 434

Membersihkan Nama Ibn Arabi | 432

                  Ke  tiga:  Mereka  selalu  menetapkan  sifat-sifat  bagi  Allah
           dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya
           dengan Allah seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya.
           Padahal sifat-sifat bagi Allah tidak boleh ditetapkan kecuali dengan
           adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut.
                  Ke  empat:  Mereka  tidak  membuat  perbedaan  dalam
           menetapkan  sifat  bagi  Allah  antara  hadits  yang  mashur  dengan
           hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts an-
           Nuzûl; “Yanzil Rabbunâ Ilâ as-Samâ’ ad-Dunyâ…”, hadits yang tidak
           shahih contohnya hadits yang mengatakan: “Ra-aitu Rabbî Fî Ahsan
           ash-Shûrah…”.  Namun  mereka  memandang  bahwa  kedua  hadits
           tersebut  merupakan  hadits-hadist  tentang  sifat  Allah,  yang
           karenanya  mereka  kemudian  menetapkan  --dengan  landasan  dua
           hadits  tersebut--  adanya  sifat  “turun”  dan  “bentuk”  bagi  Allah.
           Na’ûdzu Billâh.
                  Ke lima: Di antara kerancuan mereka adalah  bahwa mereka
           tidak  membeda-bedakan  antara  hadits  marfû’  yang  bersambung
           hingga  Rasulullah  dan  hadits  mauqûf  yang  hanya  bersambung
           sampai  kepada  para  sahabat  saja,  dan  bahkan  mereka  juga  tidak
           membedakannya  dengan  hadits  maqthû’  yang  hanya  bersambung
           hingga  tabi’in  saja.  Baik  hadits  marfû’,  hadits  mauqûf  atau  hadits
           maqthû’ oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-
           sifat bagi Allah. Hasbunallâh.
                  Ke  enam:  Yang  aneh  dari  mereka,  dalam  beberapa  teks  al-
           Qur’an atau hadits yang terkait dengan masalah ini mereka pahami
           dengan  takwil,  namun  dalam  teks-teks  yang  lain  mereka
           memaknainya  dengan  makna-makna  zhahir.  Ini  menunjukkan
           bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah
           hadits yang berbunyi: “Wa Man Atânî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”,
   429   430   431   432   433   434   435   436   437   438   439