Page 174 - Mengungkap-Kerancuan-Pembagian-Tauhid-Kepada-Uluhiyyah-Rububiyyah-dan-al-Asma-Wa-ash-Shifat-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-277-Hal
P. 174
172 | Mengungkap Kerancuan Tiga Tauhid
ِ
ِ
ِ
ِ
ِِ
ْلاأْثدحُأْاٌشْنإوْ،ءاهْامْهرمأْنمْثدًحْلجوْزعْاللْنإ
ّ ّ
ّ
َ َ ْ ْ ُ ُْ
ّ َ ْ
َ َ
ّ َ َ َّ َ
ِ
ِ
ةلاصلاْفيْاومّ لَ كت ُ
َ
ّ
ُْ
‖Sesungguhnya Allah ―membuat sesuatu yang baru‖
dari segala urusan-Nya bagi nabi-Nya terhadap
apapun yang Dia kehendaki. Dan sesungguhnya di
antara ―yang baru‖ --artinya yang Dia wahyukan
kepadaku-- adalah ‖Janganlah kalian mengajak
berbicara dalam keadaan shalat‖.
(Pengertian ―yang baru‖ di sini adalah kejadiannya
kepada makhluk-Nya, bukan dalam pengertian bahwa
97
Allah memiliki kehendak yang baharu)‖ .
Takwil tafshili semacam ini juga telah datang dari Al-Imam
Malik ibn Anas. Asy-Syaikh al-Zurqani telah mengutip riwayat dari
Abu Bakar ibn al-Arabi, bahwa Al-Imam Malik telah
mengomentari hadits: “Yanzilu Rabbuna…” (Hadits an-Nuzul),
beliau berkata: ―an-Nuzul dalam hadits ini maknanya kembali
kepada perbuatan (Af‟al) Allah, bukan dalam pengertian -sifat-
Dzat-Nya. Dan makna yang dimaksud dari hadits ini adalah
bahwa Allah memerintah beberapa Malaikat-Nya untuk turun
dengan membawa perintah dan larangan-Nya. An-Nuzul dalam
pengertian turun secara indrawi ini adalah sifat Malaikat yang
perintah oleh Allah tersebut. Dapat pula an-Nuzul dalam
pengertian maknawi, yaitu artinya bahwa Allah telah berkehandak
akan suatu kejadian pada makhluk-Nya, yang kejadian perkara
tersebut pada makhluk tersebut adalah sesuatu baru. (Adapun
sifat berkehendak Allah tidak baru). Artinya, bahwa proses
kejadian perkara yang dikehendaki oleh Allah yang terjadi pada
makhluk tersebut dinamakan dengan an-Nuzul dari suatu keadaan
97 al-Asma‟ Wa ash-Shifat, h. 235