Page 201 - Mengungkap-Kerancuan-Pembagian-Tauhid-Kepada-Uluhiyyah-Rububiyyah-dan-al-Asma-Wa-ash-Shifat-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-277-Hal
P. 201

Mengungkap Kerancuan Tiga Tauhid  | 199

            sabdanya itu mengandung pemahaman pembagian tauhid kepada
            Uluhiyyah dan Rububiyyah.
                   Kedua; atau bisa jadi subjek kata kerja “bayyana” tersebut
            adalah  hadits  itu  sendiri;  artinya  redaksi  hadits  itu  sendiri
            menetapkan pembagian tauhid kepada dua bagian; Uluhiyyah dan
            Rububiyyah.
                   Ketiga; atau bisa jadi subjek kata kerja “bayyana” tersebut
            adalah Ibnu Taimiyah sendiri yang  memahami dan menafsirkan
            hadits tersebut demikian.

                   Kemungkinan  pertama  dan  kemungkinan  kedua  adalah
            perkara  yang  tidak  benar.  Bila  maksud  Ibnu  Taimiyah  adalah
            kemungkinan  pertama  atau  kemungkinan  kedua  maka  ia  telah
            berbohong  besar,  karena  Rasulullah  tidak  pernah  menjelaskan
            bahwa hadits tersebut mengandung penjelasan dua pokok besar;
            tentang  tauhid  Uluhiyyah  dan  tauhid  Rububiyyah.  Demikian  pula
            redaksi hadits itu sendiri tidak mengatakan bahwa tauhid terbagi
            kepada Uluhiyyah dan Rububiyyah.
                   Dengan demikian maka pemahaman hadits tersebut yang
            menurutnya  menjelaskan  dua  pokok  besar;  tentang  tauhid
            Uluhiyyah dan tauhid Rububiyyah adalah dari pemahaman yang ia
            kreasi  sendiri,  dan  subjek  kata  kerja  “bayyana”  dalam  hadits
            tersebut  tidak  lain  adalah  Ibnu  Taimiyah  sendiri.  Dari  sini
            sebenarnya wajib bagi Ibnu Taimiyah untuk mengatakan dengan
            tegas  bagi  orang-orang  awam  dan  yang  lemah  dalam  agama
            bahwa  pemahaman  tersebut  adalah  pemahaman  yang  ia  kreasi
            sendiri,  misalkan  dengan  mengatakan;  ―Aku  memahami  dari
            hadits  ini  dua  pokok  besar…..  ―,  bukan  dengan  redaksi  kabur
            yang rancu dan menyesatkan. Selebihnya, redaksi Ibnu Taimiyah
            dalam  memahami  hadits  tersebut  adalah  omong  kosong  belaka
            (tsar-tsarah) yang tidak membutuhkan kepada bantahan.
   196   197   198   199   200   201   202   203   204   205   206