Page 204 - Mengungkap-Kerancuan-Pembagian-Tauhid-Kepada-Uluhiyyah-Rububiyyah-dan-al-Asma-Wa-ash-Shifat-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-277-Hal
P. 204

202 | Mengungkap Kerancuan Tiga Tauhid

                   (Dua  puluh  dua)  :  Dalam  catatannya  tersebut  di  atas,
            Ibnu Taimiyah berkata:
                     وباتكْفيْاللْاىركذْتيلاْةيلقعلاْةلدلأاْةفرعمْنعْاورصقْمنهإف


                  “sesungguhnya  mereka  lemah  (lalai)  dari  mengetahui  dalil-
                  dalil akal yang telah disebutkan oleh Allah dalam al-Qur‟an
                  ...”.
            Ini  adalah  tuduhan  dan dusta  besar,  ia  menjadi  bumerang  yang
            berbalik  terhadap  dirinya  sendiri.  Kita  katakan:  Sesungguhnya
            yang  lemah  dalam  mengetahui  dalil-dalil  akal  yang  telah
            disebutkan  oleh  Allah  dalam  kitab-Nya  adalah  engkau  sendiri
            wahai  Ibnu  Taimiyah,  dan  pemuka-pemuka  dari  golonganmu;
            kaum Mujassimah.
                   Sesungguhnya  tuduhan  Ibnu  Taimiyah  terhadap  para
            ulama ini didasarkan kepada rasa takjub terhadap dirinya sendiri
            yang  merasa  alim,  didasarkan  kepada  sifat  fanatiknya  terhadap
            hawa nafsunya sendiri, dan didasarkan  kepada tujuan pelecehan
            terhadap  para  ulama.  Benar,  seorang  yang  terbuai  akan  berkata
            apapun, termasuk mengatakan: ―… pendapat semua orang salah,
            kecuali  pendapat  aku  sendiri‖,  atau  mengatakan:  ―Semua  ulama
            ahli  tauhid  (al-Mutakallimun)  lemah  dalam  mengetahui  dalil-dalil
            aqli…‖,  karena  menuduh  dan  omong  kosong  itu  gratis.  Tetapi,
            apakah  tuduhan  dan  omong  kosong  semacam  ini  harus  diikuti
            dan  dibenarkan?!  Tentu  tidak.  Sesungguhnya  seorang  yang  teliti
            dalam membaca setiap lembar karya-karya Ibnu Taimiyah ia pasti
            mendapati bahwa setiap ungkapan-ungkapannya banyak dipenuhi
            dengan rasa takjub dirinya terhadap pendapat dirinya sendiri (al-
            I‟jaab bin-nafs), dan banyak dipenuhi dengan pelecehan (al-Izdiraa‟)
            terhadap pendapat para ulama terdahulu. Dua perkara ini; al-I‟jaab
            bin-nafs dan al-Izdiraa‟ hampir selalu tertuang dalam setiap lembar
   199   200   201   202   203   204   205   206   207   208   209