Page 227 - Mengungkap-Kerancuan-Pembagian-Tauhid-Kepada-Uluhiyyah-Rububiyyah-dan-al-Asma-Wa-ash-Shifat-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-277-Hal
P. 227

Mengungkap Kerancuan Tiga Tauhid  | 225

                   (Lima):  Sesungguhnya  yang  diajak  bicara  (al-Mukhathab)
            oleh ayat ini “Wa la-in sa-altahum...” adalah Rasulullah. Dalam ayat
            itu ada kata “In”; yang merupakan huruf syarat (Harf Syarth) yang
            dimasuki  “lam  Qasam”  (huruf  Lam  untuk  memberikan  makna
            sumpah). Sehingga makna “Wa la-in sa-altahum...” (dalam bahasa
            Indonesia); ―Dan jika benar-benar engkau --wahai Muhammad--
            bertanya  kepada  mereka...‖.  Oleh  karena    menggunakan  “In
            Syarthiyyah”;  maka  pemahamannya  dua  kemungkinan,  antara
            bahwa pertanyaan tersebut terjadi, dan atau pertanyaan tersebut
            tidak terjadi. Dan kata “sa-altahum” walaupun dengan redaksi fi‟il
            madli (masa lampau), tetapi makna yang dimaksud adalah dalam
            makna mendatang (mustaqbal). Karena itu banyak para ahli tafsir
            mengatakan bahwa jawaban orang-orang musyrik  ketika mereka
            menjawab ―Allah‖ adalah karena dalam makna fitrah penciptaan
            manusia,  yaitu  di  masa  saat  diambil  perjanjian  dari  manusia  di
            alam  adz-Dzurr (ketika diambil perjanjian  “alastu  bi Rabbikum?”).
            Artinya,  jawaban  orang-orang  musyrik  ―Allah‖  adalah  jawaban
            fitrah penciptaan manusia tersebut yang hanya mereka ucapakan
            di mulut saja, tanpa ada keyakinan dalam hati mereka.

                   Di  atas  pemahaman  yang  telah  kita  jelaskan  ini  maka
            sesungguhnya Ibnu Taimiyah sebenarnya telah sesat karena sikap
            berlebih-lebihan,  yaitu  (1).  Ia  menetapkan  seakan  diri  memiliki
            derajat  kenabian,  (2).  Memberlakukan  ayat  tentang  orang-orang
            Musyrik  terhadap  orang-orang  Mukmin,  (3)  dan  ia  menjadikan
            pemahaman “in asy-Syarthiyyah” sebagai perkara yang wajib adanya,
            padahal itu hanya belaku kemungkinan saja (ja-iz).


                   (Tiga Puluh): Perkataan Ibnu Taimiyah dalam karyanya
            Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah:

                                  ْ "...ْهيغْنودبعَْكلذْعمْمىو"ْ:ْ)ليق(
   222   223   224   225   226   227   228   229   230   231   232