Page 229 - Mengungkap-Kerancuan-Pembagian-Tauhid-Kepada-Uluhiyyah-Rububiyyah-dan-al-Asma-Wa-ash-Shifat-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-277-Hal
P. 229

Mengungkap Kerancuan Tiga Tauhid  | 227

            syarat  ditambah  dengan  tujuan  menyembah,  mengagungkan,
            mendekatkan  diri  (taqarrub),  dan  meyakini  bahwa  yang
            ditundukinya itu menciptakan manfaat dan menciptakan bahaya.
            Adapun  sebatas  tawassul,  istighatsah,  dan  isti‟anah  maka  ia
            sedikitpun tidak bermakna ibadah kepada yang dijadikan wasilah.
            Karena  itu  tidak  ada  siapapun  dari  orang  Islam  yang  meyakini
            bahwa  Rasulullah,  misalkan,  –yang  ia  jadikan  sebagai  wasilah—
            sebagai Tuhan yang wajib disembah; yang merupakan sekutu bagi
            Allah. Tidak ada orang Islam berkeyakinan demikian.
                    (Dua): Wasilah dalam makna bahasa adalah setiap sesuatu
            yang dapat mendekatkan diri kepada yang lain. Dalam bahasa kita
            (Indonesia)  makna  harfiah-nya  adalah  ―perantara‖.  Atau  dalam
            istilah  lain  dapat  pula  disebut  ―sebab‖.  Pertanyaannya;  apakah
            orang  yang  membuat  perantara  atau  melaksanakan  sebab-sebab
            bahwa  orang  tersebut  sama  saja  telah  menyembah  dan
            menuhankan perantara-perantara atau sebab-sebab tersebut?!

                    Dari sini dapat dipahami beberapa hal, --terkait mengapa
            qiyas Ibnu Taimiyah dalam menyerupakan orang-orang Islam yang
            bertawassul sebagai qiyas rusak dan batil--; (Pertama); dia rancu
            (atau  sengaja  merancukan)  dalam  membedakan  makna-makna
            dari kalimat  “tawassala, ista‟ana,  istaghatsa, dan  tasyaffa‟a”;  yang  itu
            semua olehnya dimaknai sama, yaitu ibadah. (Kedua); dia rancu
            (atau  sengaja  merancukan)  dalam  menyamakan  orang-orang
            mukmin  yang  bertawassul  dengan  orang-orang  kafir  musyrik
            penyembah  berhala  dari  segi  –menurutnya—sama-sama  untuk
            tujuan meraih manfaat. Ini adalah qiyas yang dibangun di atas illat
            (sebab) yang jauh berbeda.
                    (Tiga  Puluh  Satu):    Perkataan  Ibnu  Taimiyah  dalam
            karyanya Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah:
   224   225   226   227   228   229   230   231   232   233   234