Page 30 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 30
Bisa jadi karena aku anak bungsu. Konon dari cerita kakak, sampai umur 5
tahun aku masih ngempeng, menetek walaupun air susu beliau sudah tidak
keluar. Sampai aku bersekolah di SMA, bahkan setelah menjadi Taruna AMN,
apabila aku pulang kedesa, kadang masih dikelonin simbok. Ada rindu yang
selalu menyelimuti hatiku.
Apabila aku menghadapi kesulitan, sedang galau, atau apabila akan melakukan
pekerjaan yang berat, misalnya akan menghadapi ujian, bahkan hingga aku
menjadi seorang Perwira, aku selalu mengadu kepadanya. Ada rasa damai dan
nyaman apabila aku dekat dan sudah berdialog dengan beliau walaupun kadang
substansinya tidak nyambung.
Aku merasakan bahwa aku mendapat berkah yang berlimpah karena cinta dan
kedekatan emosionalku dengan simbok. Sungguh tidak ada keraguan tentang
hakikat bahwa “orang tua, terutama ibu”, menurut orang Jawa bagaikan “Gusti
Allah katon”. Ridho Allah tergantung dari ridho orang tua itu benar adanya.
Kesan yang mendalam tentang simbok ini terus terpatri dalam hati sepanjang
hidupku. Jiwa sosial yang tinggi, hemat, ikhlas dalam memberi, dan kasih
sayangnya kepadaku menjadi kenanganku.
Simbok mengajari aku tidak melalui ucapan tetapi melalui sikap dan perbuatan.
Tentang KAKAK-KAKAKKU,
Seingatku, di rumah aku tinggal bersama tiga orang kakak laki-laki, mas Satam,
mas Yahyo, mas Sanggiyo, satu orang kakak perempuan, yu Sayem, dan
beberapa keponakan. Ketiga kakakku yang lain, kakak pertama, kedua, dan
ketiga sudah menikah, sudah mempunyai dan menempati rumah sendiri, hanya
berkumpul apabila ada kesempatan.
Ketiga kakak laki-laki sudah selesai SMP, tetapi sayang mereka tidak
melanjutkan sekolah. Sambil menunggu mendapatkan pekerjaan atau menikah,
mereka membantu bapak bertani. Adapun, kakak perempuanku, yu Sayem
hanya tamat SR dan segera menikah.
Dari mereka aku banyak belajar dan bermain. Mas Satam sering mengajak aku
jalan-jalan ke Wonosari dibonceng naik sepeda atau jalan-jalan ketempat-
tempat rekreasi alam. Yang kami lakukan ialah menyusuri gua kelelawar di
“Guwo Lowo”, melihat gerombolan monyet liar di habitatnya, di “Song
Gilap” atau ke pantai Kemadang, melihat hamparan pasir dan gelombang laut.
Aku masih terkenang waktu pertama kali makan es krim, ditraktir mas Satam,
saat aku diajak bersepeda ke Wonosari. Mas Yahyo suka mengajak aku jalan
keliling desa di malam hari sambil mencari jangkrik jantan aduan, ngobor belut,
mendengarkan suara burung hantu, melihat jatuhnya meteor, atau kalau

