Page 33 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 33
tua bertani. Mereka berpikir toh akhirnya anak-anak akan kembali lagi menjadi
petani. Pemerintah pun pada waktu itu belum memberikan fasilitas yang
memadai, terutama bangunan sekolah dan ketersediaan tenaga guru karena
negara baru saja merdeka, masih fokus menangani masalah keamanan,
ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat.
Pada zaman kolonial, anak-anak desa tidak mendapat kesempatan untuk
memperoleh pendidikan formal. Hanya anak-anak pejabat, priyayi, dan anak
orang berada yang bisa dan boleh bersekolah.
Setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, barulah dibuka sekolah
untuk semua anak, sampai ke desa-desa, termasuk SR Sumbergiri yang
didirikan tahun 1950, lima tahun setelah proklamasi, sebagai realisasi amanat
UUD NKRI 1945, yaitu sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah “untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa”
SR Sumbergiri, tempat aku bersekolah, menempati rumah penduduk. Tidak
mencerminkan sebagai gedung sekolah. Bangunannya berbentuk joglo,
berlantai tanah dan berdinding gedheg. Agar menjadi ruangan kelas, bangunan
disekat-sekat, juga dengan dinding gedheg sehingga apabila guru mengajar
disatu kelas, bisa didengar oleh kelas lainnya, apalagi jika ada pelajaran
menyanyi.
Walaupun ruangan kelas tidak memadai, tetapi inventaris sekolah berupa
sarana dan prasarana kelas dilengkapi. Tiap kelas tersedia papan tulis warna
hitam disebut “black board”. Papan tulis tersebut dilengkapi dengan penghapus,
kapur tulis, dan penggaris Panjang 100 cm yang terbuat dari kayu. Selain itu,
tersedia meja guru dan meja murid yang didesain khas. Kepada setiap murid
dibagikan peralatan sekolah secara gratis, berupa buku tulis, buku gambar,
pensil, penghapus, penggaris kayu 30 cm, sabak, dan grip. Sabak adalah papan
tulis mini dengan alat tulis khusus yang disebut grip. Setelah kelas 4 dibagikan
juga pena dan tinta. Itulah enaknya anak sekolah SR zaman itu, sekolah gratis,
mendapat peralatan gratis dan kadang mendapatkan pembagian susu bubuk
gratis.
Berangkat dan pulang sekolah aku berjalan kaki, melewati pematang sawah
dan jalan becek bila musim penghujan. Aku tidak berpakaian seragam dan tidak
bersepatu. Sepatu bagi anak SR sepertinya hanya untuk anak kota. Aku baru
mengenal sepatu setelah masuk sekolah SMP.

