Page 31 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 31

sedang  beruntung  dapat  melihat  jatuhnya  “pulung”.  Pulung  adalah  makhluk
        berupa bola api yang bisa terbang dari suatu tempat ketempat lain di malam
        hari yang sepi. Dipercayai bahwa apabila pulung itu berwarna putih atau hijau
        pertanda  akan  ada  berita  yang  menggembirakan,  tetapi  apabila  berwarna
        merah berarti akan terjadi malapetaka.
        Aku pernah satu kali melihat “pulung merah” dan benar kesokan harinya ada
        berita bahwa ada tetangga yang jatuh sakit hingga meninggal dunia. Hingga hari
        ini aku belum memahami makhluk apa sebenarnya pulung itu.
        Mas Sanggi sering mengajak aku mengairi sawah dan menjaga ladang di malam

        hari.  Beliau  mengajari  aku  untuk  tidak  takut  melihat  dan  melintasi  tempat-
        tempat yang dianggap angker, seperti gua, kedhung, kuburan tua, batu geneng,
        atau  pohon  beringin  tua.  Dulu  di  tempat-tempat  yang  seperti  itu,  oleh
        penduduk yang masih percaya kepada hal-hal mistis dan tahayul, setiap malam
        Jumat Kliwon ditempatkan sesaji yang disebut “panjang ilang”. Biasanya panjang
        ilang  itu  berupa  nasi  tumpeng  dilengkapi  dengan  berbagai  lauk  terutama
        panggang ayam,  pisang  masak  satu  sisir, sebungkus  rokok,  dan  segelas  kopi.
        Yang beruntung biasanya anak-anak gembala yang nakal, anjing, atau kucing liar
        yang berkeliaran di malam hari.

        Dari belajar dengan kakak-kakakku, aku juga sudah  dapat membaca sebelum
        masuk  sekolah  dan  menghafal  Al  Fathihah  karena  mereka  pernah  belajar
        mengaji  kepada  guru  disurau  dan  dari  wo  (pakde)  Pakruroji.  Dulu  di  desa
        belum ada TK atau playgroup.
        Aku merasa bahwa kakak-kakakku sangat menyayangiku, bisa jadi karena aku
        adik bungsu, dengan perbedaan umur yang cukup jauh, pantas untuk dijadikan
        tumpuan permainan dan dianggap bukan saingan mereka.

        Setelah  aku  masuk  sekolah  SMA,  kakak-kakakku  kemudian  juga  mendapat
        pekerjaan selain bertani. Mas Satam merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai
        PNS  di  Departemen  Kehakiman.  Mas  Yahyo  juga  bekerja  sebagai  PNS  di
        Kanwil  Kesehatan  walaupun  tetap  di  desa  setelah  kursus  mengetik  yang
        didirikannya  ditutup.  Mas  Sanggi  tetap  sebagai  petani.  Yu  Sayem  menikah
        dengan kang Sapto, yang juga PNS.

        Begitulah  kenangan  bersama  keluargaku  selama  aku  di  desa.  Aku  lahir  dan
        tumbuh  dalam  lingkungan  yang  sangat  sederhana,  dalam  keluarga  petani
        tradisional,  di  desa  yang  sepi  belum  tersentuh  oleh  teknologi,  tetapi  terasa
        damai, tenang, dan membahagiakan.
   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36