Page 64 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 64

Kondisi ini rupanya memang diciptakan sebagai “shock terapi” dan “cuci otak”
        agar  Catar  siap  menghadapi  kegiatan  selanjutnya  yang  bisa  jadi  lebih  berat
        tanpa  kendala.  Kegiatan  prabhakti  merupakan  kegiatan  awal,  bagian  dari
        pendadaran  di  kawah  Chandradimuka.  Mulai  saat  itu  diawali  dengan
        mengibarkan  bendera  prabakti  di  puncak  bukit  Tidar  pada  hari  kedua,
        selanjutnya dilaksanakan kegiatan siang malam, tidak mengenal waktu.

        Istilah  “Chandradimuka”  diambil  dari  kisah  pewayangan,  yaitu  suatu  tempat,
        yang  berupa  kawah gunung berapi,  di  mana Bambang Tutuko,  seorang bayi,

        anak  dari  Bima  dan  Arimbi,  diceburkan  ke  dalamnya,  dilempari  dengan
        berbagai senjata dan anak panah. Atas kehendak Dewa, bayi Tutuko bukannya
        tewas  dan  hancur  luluh,  tetapi  justru  tumbuh  menjadi  besar,  menjelma
        menjadi  Gatotkaca  yang  gagah  perkasa,  sakti  mandra  guna.  Kiranya  seperti
        itulah  sasaran  yang  ingin  dicapai  dengan  dilaksanakannya  pendadaran  di
        Chandradimuka ini.

        Selama  masa  prabakti,  semua  kegiatan  diarahkan  untuk  melatih  mental  dan
        fisik.  Latihan  mental  dilakukan  dengan  mengosongkan  fikiran  dari  jiwa-jiwa
        yang kerdil seperti egois dan sombong karena perbedaan status sosial, kondisi
        phisik, asal usul daerah, asal usul keturunan, suku, sekolah, dan lainnya. Hal
        tersebut dilakukan agar semua  calon taruna berada dalam posisi yang setara.
        Latihan  mental  juga  ditujukan  untuk  menghilangkan  sifat-sifat  yang  cengeng,
        manja, malas, dan penakut agar menjadi orang yang tegar dan berani.
        Selama masa ini, kami direndahkan sedemikian rupa, bahkan panggilan untuk
        kami adalah “monyet” dan diberi nama “suci” yang aneh-aneh. Nama suciku
        adalah “JAMU”, akronim dari Janda Muda. Tentu aku tidak tahu mengapa aku
        diberi  nama  suci  itu,  bisa  jadi  karena  fisikku  terlihat  kurus  dan  melankolis.
        Waktu masuk, berat badanku 52 kg dengan tinggi 165 cm.
        Untuk melatih fisik, kami harus terus bergerak sepanjang hari. Tidak diberikan
        waktu leluasa untuk istirahat, bahkan waktu untuk ibadah pun dibatasi. Tidak
        ada hari tanpa tekanan, siang, maupun malam. Bahkan tidur malam dan diruang
        makan pun kami selalu mendapat gangguan, dengan istilah ada “bahaya udara”.
        Yang mengesankan adalah apabila ada bahaya udara saat kami sedang makan.
        Saat  para  Capratar  berlindung  di  bawah  meja  makan,  para  Taruna  senior
        mencampur segala macam makanan dan minuman ke dalam ompreng tempat
        makan  kami.  Setelah  suasana  aman,  Capratar  melanjutkan  makan  dengan
        makanan gado-gado racikan Taruna senior, berupa adukan nasi, sayur, susu,
        teh, kopi, sambal, pisang yang sudah dipenyet-penyet, dan lainnya. Anehnya,

        menu  itu habis juga kami santap karena kami selalu merasa lapar.
   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69