Page 65 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 65
Ada kewajiban mengumpulkan tanda tangan Taruna senior sebanyak
banyaknya dengan ditentukan jumlah minimal dan harus mempunyai kakak
asuh. Kakak asuhku bernama Sermatar Suhadi Tasir. Sayang, setelah dia lulus,
tidak ada lagi komunikasiku dengannya hingga sekarang.
Saat minta tanda tangan senior itulah biasanya mereka memperlakukan aneh-
aneh kepada kami, memberikan berbagai pertanyaan, memberikan arahan dan
petunjuk, serta menghukum tanpa alasan berupa tindakan disiplin untuk
meningkatkan kekuatan phisik dan mental. Tidak jarang kami menerima
pukulan-pukulan atau tendangan, tanpa boleh menghindar apalagi melawan.
Istilahnya di”vermak”. Sungguh terasa sangat tersiksa, lelah, dan frustrasi.
Begitu pun apabila salah seorang dari kami membuat kesalahan sekecil apapun,
maka satu kelompok, Regu, Peleton, atau Kompi mendapat hukuman atau
tindakan disiplin yang sama.
Rasa lelah yang berkepanjangan memunculkan perasaan berat di hati untuk
bisa melanjutkan, apalagi ada provokasi dari Taruna senior. Saat kami
mendapat hukuman disiplin, ada Taruna senior yang meneriakkan kata-kata,
“SIAPA YANG MAU BERHENTI, SILAHKAN KELUAR BARISAN”,
“MUMPUNG INI BARU PERMULAAN”. Hal tersebut membuat aku agak
berkecil hati. Rupanya ada beberapa teman yang terprovokasi. Mereka benar-
benar keluar barisan dan akhirnya justru menjadi bulan-bulanan senior.
Tekanan fisik dan mental yang bertubi-tubi tersebut membuat banyak teman
yang jatuh sakit bahkan sampai dirawat di KSA.
Aku betekad, “rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. Sudah kepalang
tanggung, tidak ada kata mundur, aku harus kuat, aku harus berhasil. Prinsipku
adalah, “apabila temanku bisa, mengapa aku tidak”.
Setelah berlangsung selama 2 minggu yang rasanya sangat lama, masa prabakti
diakhiri ditandai dengan penurunan bendera prabakti pada sore hari terakhir.
Pada malam harinya dilakukan pembakaran atribut nama suci. Tidak ada lagi
panggilan “monyet”, diganti dengan “Calon Prajurit Taruna (Capratar)” dan
para Taruna senior kembali memperlakukan kami sebagai adik atau juniornya.
Tidak ada lagi tindakan kekerasan. Tidak ada lagi panggilan “Panglima” untuk
Sermatar, “Hulubalang” untuk Sertar dan ”Algojo” untuk Koptar. Kami
memanggil mereka sesuai dengan pangkat dan namanya. Aku merasa lega,
apalagi melihat kakak-kakak Taruna senior yang gagah-gagah dan kembali
bersahabat.

