Page 85 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 85
bersamaku, sehingga aku semakin pasrah dan semakin meningkatkan
ketergantungan kepada-Nya. Aku merasa sangat kecil dan lemah setelah
memandang luasnya hamparan bumi dari pintu pesawat. Betapa ciutnya nyali
begitu berdiri dipintu sesaat sebelum melompat keluar pesawat pada
ketinggian 3000 kaki. Hal ini sepertinya juga dirasakan oleh teman-temanku,
ditandai dengan semakin taatnya para Taruna menunaikan ibadah, semakin
disiplin, tidak ada pelanggaran yang dilakukan Taruna sekecil apapun selama
latihan penerjunan berlangsung.
Untuk pelaksanaan terjun payung yang sebenarnya, aku boarding naik pesawat
terbang dari Bandara Husein Sastranegara, Bandung, tanpa tiket. Inilah
pengalaman pertama aku naik pesawat terbang dengan menggendong payung
utama dipunggung dan payung cadangan di dada. Pesawat itu adalah “Dakota”,
pesawat angkut militer, yang didesain sedemikian rupa untuk kepentingan
terjun payung. Terjadi keterbatasan pesawat yang dimiliki AD sehingga ada
sebagian temanku yang diterjunkan dengan helikopter. Di saat penerjunan
dengan heli, aku pernah tertegun ketika menyaksikan teman yang tergantung
beberapa saat karena payungnya nyantol. Beruntung dapat diatasi oleh pilot,
dengan menghentikan laju pesawat. Sejak terjadi peristiwa itu, penerjunan
dengan heli dihentikan.
Setelah melaksanakan terjun 7 kali, termasuk satu kali terjun hutan dan satu
kali terjun malam, aku dinyatakan berhasil. Aku sudah berkualifikasi penerjun
dan kepadaku disematkan “wing” didada kiri pada saat upcara “wing day”. Hal
ini tentu menambah rasa bangga dan percaya diri.
Ada lagu mars yang selalu kami nyanyikan selama dalam latihan terjun, yang
liriknya bisa membuat bulu kuduk merinding.
Begini liriknya,
Bila apel malam telah tiba.
Segera siapkan penerjunan.
Hatiku dagdigdug tak karuan.
Memikirkan nasib seseorang.
Bila aku penerjun pertama.
Segera berdiri depan pintu.
Pandangan tetap lurus kedepan.
Sikap exit jangan dilupakan.

