Page 10 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 10
Di desa, Bapak dikenal sebagai petani yang memiliki lahan cukup,
ada sawah dan ada ladang. Lahan Bapak diperoleh dari warisan,
mendapat tanah bengkok maupun hasil pembelian. Maklum
bapak adalah mantan lurah, anak seorang lurah, dan menantu
lurah. Dari hasil sawah dan ladang inilah kami, aku dan kakak-
kakakku, dibesarkan. Walau cara bertani Bapak masih tradisional
tetapi hasil pertanian ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari
hari, termasuk membiayai sekolah kami, apabila tidak mengalami
puso. Puso artinya gagal panen akibat kekeringan, kebanjiran atau
terserang hama. Oleh karena itu, Bapak cukup terpandang di
desa.
Namun sayang yang bisa melanjutkan sekolah sampai dengan
tingkat tinggi hanya aku. Kakak-kakakku putus sekolah, hanya
sampai lulus SMP, karena terkendala oleh umur. Maklum kakak-
kakakku terlahir pada zaman kolonial, yang sangat membatasi
anak-anak desa untuk bisa mendapatkan pendidikan formal secara
berjenjang dan berlanjut, sehingga kakak-kakakku terlambat
masuk sekolah, dan keburu dewasa.
Hasil utama dari ladang bapak adalah singkong, yang kemudian
dikeringkan menjadi gaplek. Gaplek adalah bahan makanan pokok
penduduk desaku, setelah diolah menjadi thiwul. Selain singkong,
dari ladang diperoleh juga hasil tambahan, sebagai tanaman
tumpangsari, tanaman palawija, yaitu antara lain jagung, kedelai,
kacang-kacangan, dan berbagai macam sayur-mayur. Biasanya
ladang hanya ditanami dua kali dalam setahun, di awal musim
hujan dan pancaroba atau mareng. Selebihnya, ladang dibiarkan
kering, menunggu sampai musim penghujan berikutnya.
Sedangkan sawah, terutama yang mendapatkan air dari saluran
irigasi, dapat ditanami dua atau tiga kali setahun, tergantung dari
jenis padi yang ditanam. Untuk sawah tadah hujan hanya bisa
ditanami sekali dalam setahun.
Jenis padi favorit yang ditanam bapak di sawah adalah jenis rojo
lele, bengawan solo, atau arjuno disebut pari gadhu. Jenis sawah
untuk ladang tadah hujan disebut “pari gogo”.