Page 13 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 13
Pekerjaan menggembala ini aku lakukan hingga lulus SMP. Dari
mengembala, aku bisa mengenali karakter setiap hewan
peliharaanku, kapan sedang mood, marah, birahi, haus, atau sakit.
Hewan-hewan itu sangat peka terhadap kemungkinan bahaya,
misalnya bisa mengendus apabila di sekitarnya ada ular berbisa,
lubang atau kedung yang dalam.
Tentang ular berbisa, mengingatkan aku pada kejadian yang
mengejutkan. Aku menyaksikan Supali, teman
sepenggembalaanku, dipatuk ular berbisa yang hidup di sela-sela
bebatuan, di lereng bukit Melikan. Dalam sekejab kulitnya menjadi
gelap, karena racun dengan cepat masuk ke aliran darahnya.
Darahnya membeku, badannya kejang-kejang, dan dalam waktu
singkat nyawanya melayang. Sungguh mengerikan.
Aku lebih suka menggembalakan kerbau daripada sapi, karena
lebih jinak dan mudah diatur. Sapi suka nakal dan lebih liar. Aku
pernah diseruduk sapi, sehingga meninggalkan bekas luka di
lengan sampai kini. Saat berangkat atau pulang menggembala aku
suka naik di punggung kerbau, kadang sambil meniup seruling.
Setelah aku bersekolah di Jogja, pekerjaan menggembala
dilanjutkan oleh para keponakan .
Rumah bapak besar, dibangun di lahan pekarangan yang cukup
luas, tetapi tidak dilengkapi dengan sumur, kamar mandi, dan wc.
Untuk mendapatkan air minum, mandi, dan mencuci pakaian,
kami harus ke rumah tetangga yang mempunyai sumur atau yang
mempunyai blumbang. Sesekali kami pergi mandi dan mencuci ke
sumber Gedaren atau ke kali Simo.
Sedang untuk wc, terhampar di ladang dan di sawah-sawah. Bapak
tidak membuat blumbang, karena pekarangan bapak berada di
ketinggian, sehingga tidak bisa terjangkau oleh aliran air irigasi.
Belakangan bapak baru menggali sumur, membangun kamar
mandi dan jumbleng, setelah dihimbau oleh pak lurah dalam
program pembangunan rumah sehat, walaupun harus menggali
sumur hingga kedalaman 20 meter. Waktu itu belum dikenal
teknologi membuat sumur bor atau pantek.