Page 6 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 6
royong merupakan adat yang sudah mengakar, mereka
menyebutnya “sambatan” untuk mengerjakan pekerjaan
perorangan, misalnya mendirikan rumah, atau hajatan. Disebut
“gugur gunung” apabila untuk pekerjaan sosial kemasyarakatan,
misalnya pembuatan saluran irigasi atau perbaikan jalan desa.
Untuk hiburan melepas lelah, masyarakat berinisiatif membuat
kreasi mandiri dengan mendirikan kelompok atau klub olah raga
seperti sepak bola, dan bulu tangkis yang dikoordinasi oleh para
pemuda, atau mendirikan kelompok kesenian seperti klenengan
dan terbangan atau sholawatan, yang dikoordinasi oleh para
seniman desa atau oleh jemaah masjid. Bahkan para wanita
dewasa juga bisa menghibur diri dengan kothean, yaitu menabuh
lesung secara berkelompok dan berirama.
Sesekali ada pementasan wayang kulit, ketoprak atau ludrukan
yaitu apabila ada upacara bersih desa, peringatan hari
kemerdekaan atau ada warga yang mengadakan hajatan. Bagi
anak-anak, hiburan mereka berbentuk permainan bola kaki, kasti,
benthik, nekeran, adu gambar, memasang kitiran di punggung
bukit Cabak atau main layangan bagi anak lelaki, dan bagi anak
perempuan ada permainan gobag sodor, bekel, congklak, sodah
mandah dan lainnya.
Apabila musim kemarau tiba dan bulan sedang purnama, pada
senja hari biasanya anak-anak berkumpul di pelataran bermain
bersama menyanyikan “lagu-lagu dolanan”, dan bermain petak
umpet, yang disebut jethungan.
Ada beberapa lagu dolanan yang populer waktu itu, yang masih
aku ingat, antara lain lagu “Ilir-ilir”, “Gundhul-gundhul pacul” dan
“Sluku-sluku bathok”. Bahkan hingga kini lagu dolanan ini masih
digemari anak-anak.
Konon lagu-lagu itu sebenarnya adalah lagu dakwah, ciptaan
Sunan Kalijogo.
Lagu itu dibuat sederhana tetapi populer, disebarkan dan
dinyanyikan sebagai lagu dolanan anak-anak untuk mempermudah