Page 106 - Dr. Abdul Rasyid Ridho, M.A
P. 106
bekal keilmuan yang dimilikinya dan dalam sebuah
konteks yang dialaminya.Jadi produk tafsir merupakan
sebuah entitas yang sangat berbeda dengan Al-Qur’an.
Sehingga Al-Qur’an jika secara teologis diyakini sebagai
kebenaran yang mutlak, maka hasil penafsiran seseorang
terhadap Al-Qur’an bersifat nisbi-relatif, dalam arti
seseorang mufassir memberikan makna terkait dengan
latar belakang sosio-historisnya dan latar belakang
keilmuan serta kepentingan masing-masing mufassirnya.
Oleh karena itu Muhammad Syahru>r memiliki
pandangan terkait dengan hakikat tafsir merupakan hasil
ijtihad dan interpretasi manusia terhadap teks-teks Al-
Qur’an yang harus dipandang seb\agai sesuatu yang tidak
final dan harus selalu diletakkan dalam konteks di mana
tafsir tersebut diproduksi. Sehingga tafsir selalu terbuka
untuk dikaji kembali dan dikritisi sesuai dengan tuntunan
zaman, karena mengingat tafsir itu lahir dalam situasi dan
kondisi sosio-historis mufassirnya. 168
Syahru>r juga sangat menekankan bahwa tafsir yang
menjadi kajian ilmiah atas teks suci keagamaan
semestinya tidak boleh dilandansi dengan kepentinga-
kepentingan tertentu, bahkan harus terpenuhi syarat
keilmuan sebagai mufassir. 169 Karena jika demikian maka
168 Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an , Cicago: Minneapolis,
1980, hlm. xi.
169 Menurut Imam Jalaludin as-Sayuthi dalam bukunya al-Itqan
menyebut lima belas syarat yaitu menguasai ilmu bahasa arab,
ilmu nahwu,ilmu sharaf, pengetahuan tentang isytiqaq (akar
92

