Page 107 - Dr. Abdul Rasyid Ridho, M.A
P. 107
hasil tafsirannya tersebut bisa menjerumuskan seseorang
dalam memahaminya dan bisa menyebabkan hilangnya
keobjektivitasan penafsiran Al-Qur’an. 170
Syahru>r memandang bahwa tafsir sebagai upaya
manusia untuk memahami teks ketuhanan, karena seluruh
interpretasi atasnya tidak lain hanyalah usaha manusia
untuk mempelajari, memahami, bertindak dan berintraksi
dengan teks ketuhanan. Hal ini juga pernah disampaikan
Syahru>r di dalam sebuah artikelnya yang berjudul” The
Divine Text and Pluralism in Muslim Society”:
“All interpretation, including tafsir (exegesis) or
ijtihad (independent reasoning) are; no more than human
attempts toward understanding and acting on this divine
text”.
Kemudian bentuk dialektika seseorang terhadap
teks ketuhanan bagi Syahru>r hanya bersifat relative dan
temporer, dan termasuk hasil interpretasi Nabi atas Al-
Qur’an juga berada dalam wilayah, batas cultural, dan
kata), ilmu al-ma’ani, ilmu bayan, ilmu badi’, ilmu qira’at, ilmu
ushu ad-dhin, ilmu ushul al-fiqih, asbab an-nuzul, nasekh dan
mansukh, fiqih/hukum Islam, hadits-hadits Nabi yang berkaitan
dengan penafsiran ayat, ‘ilmu al-Mauhibah (sesuatu yang
dianugrahkan Allah kepada seseorang sehingga menjadikannya
berpotensi menjadi mufasir, itu bermula dari upaya
membersihkan hati, meluruskan aqidah, atau apa yang
diistilahkan oleh sementara ulama dengan Shihhat al-
‘Aqidah/lurusnya ‘Aqidah). Lihat M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir, cet. 2, Tangerang: Lentera Hati, 2013, hlm. 395-396.
170 Muhammad Syahru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira’a>h Mu’as}irah,
Damaskus: Ahalli> li an-Nasyr wa at-Tawzi’, 1992, hlm. 30.
93