Page 135 - hujan
P. 135
Wajah Lail langsung menunduk, kehilangan separuh ke senangan saat
membuat kue.
” Kamu jangan sedih, Nak.” Ibu Esok menyentuh lengan Lail, tersenyum.
Lail menggeleng, berusaha balas tersenyum.
Saat Maryam kembali dari wastafel, Lail bergegas mengalih kan topik
percakapan.
Mereka pulang saat ibu Esok bersiap menutup toko.
”Sering-sering main ke toko, Lail, Maryam.” Ibu Esok meng antar mereka
hingga pintu depan.
Lail dan Maryam mengangguk, mulai berjalan kaki menuju halte di ujung
jalan. Mereka naik bus kota rute 12, kembali ke panti sosial. Cahaya matahari
senja menyiram kota, menimpa gumpalan salju.
Wajah Lail terlihat lesu sepanjang perjalanan.
”Aku tahu siapa ibu itu, Lail,” Maryam berbisik. Bus kota penuh oleh
penduduk kota yang pulang dari kantor, kembali ke rumah.
Lail menoleh.
” Dia bukan sekadar kenalan biasa di tenda pengungsian, bu kan?”
”Apa maksudmu?” Lail pura-pura tidak mengerti.
” Dia ibu dari anak laki-laki yang menaiki sepeda me rah. Anak laki-laki yang
membuatmu kehujanan, anak laki-laki yang mem buatmu meninggalkanku di
acara pelantikan rela wan, dan yang membuatmu sering melamun. Iya, kan?”
Maryam menyeringai, mengedipkan mata, menggoda Lail.
Lail hendak membantah.
”Aku berani bertaruh tebakanku benar,” Maryam berkata lebih dulu demi
melihat wajah Lail yang bersemu merah.
Bus kota rute 12 terus melaju melintasi jalanan kota. Maryam cengar-cengir
senang melihat wajah Lail yang merah padam.
***
Salju kembali turun malam itu, membuat halaman panti diseli muti salju tipis
dua sentimeter.