Page 140 - hujan
P. 140
tangga darurat kereta bawah tanah. Anak laki-laki yang menjemputnya sebelum
hujan asam turun. Anak laki-laki yang menjadi teman baiknya selama di tenda
pengungsian. Saat Lail kehilangan Ibu dan Ayah, takdir meng gantinya dengan
Esok. Sisa ceritanya, Maryam bisa menyambung kannya sendiri. Lima belas
menit cerita Lail, bus kota rute 12 terus melaju.
Maryam terdiam, berkata pelan, ” Pantas saja dia sangat pen ting bagimu.”
Lail balas mengangguk.
”Anak laki-laki itu seperti kakak bagimu. Dan kamu adik baginya.”
Kali ini Lail tidak mengangguk.
” Boleh aku bertanya satu hal?”
Lail menoleh. Menatap Maryam dengan wajah serius.
”Apakah kamu menyukai Esok lebih dari seorang kakak? Mak sudku, apakah
kamu tidak mau hanya dianggap sekadar adik nya?”
Itu pertanyaan telak sekali. Muka Lail merah padam.
Maryam tertawa pelan, bangkit berdiri meninggalkan Lail. Me reka sudah tiba
di halte ujung jalan kuliner itu. Saatnya turun.
***
Ibu Esok mengucapkan selamat, menatap Lail dengan bangga atas kabar
penghargaan itu. ” Kamu pahlawan, Lail. Ayah dan ibumu akan sangat bahagia
di sana.” Lail menyeka pipinya, terharu. Ibu Esok menitipkan sekotak kue favorit
Esok. Lail me nerimanya, berjanji akan memberikannya. Maryam tidak ba nyak
komentar. Dia menjadi teman yang baik selama mereka di toko kue dan baru
kambuh mengganggu Lail lagi saat sudah di atas bus.
”Aduh, ada yang lagi membawa sekotak kue untuk seseorang yang spesial.”
Atau, ” Ehem, yang baru saja bertemu ibu dari seseorang yang ehem, ehem.”
Lail hanya diam. Dia masih memikirkan percakapan di toko kue. Ibu Esok
sangat baik kepadanya. Sementara Maryam bosan sendiri setengah jalan rute
bus karena tidak ditanggapi.
Hari keberangkatan tiba. Pagi-pagi sekali Ibu Suri meng antar mereka ke
stasiun kereta cepat dengan mobil listrik mi lik panti. Di peron juga sudah