Page 141 - hujan
P. 141
berkumpul petugas dari markas Organisasi Relawan serta beberapa teman
relawan satu angkatan.
” Kalian membuat bangga markas organisasi kota ini.” Petugas yang dulu
menyeleksi mereka menjabat tangan kedua gadis itu.
” Pastikan kalian berdua mengenakan gaun itu, Lail, Maryam,” Ibu Suri
berbisik, wajahnya serius.
Lail dan Maryam saling lirik, mengangguk.
Peluit melengking panjang. Mereka naik ke atas kapsul kereta. Tiga puluh
detik, kereta supercepat itu sudah terbang di atas rel, menuju Ibu Kota, enam
jam perjalanan.
***
Setiba di Ibu Kota, Lail punya masalah baru yang terus dipikir kannya sejak
menerima kotak kue.
Bukan soal dia tidak pernah pergi ke Ibu Kota dan tersesat, karena dua orang
dari markas besar Organisasi Relawan Ibu Kota telah menunggu di lobi
kedatangan stasiun kereta.
” Kalian masih muda sekali. Delapan belas tahun? Atau lebih muda lagi?” Salah
satu petugas penjemput menatap tidak percaya. ” Dan telah melakukan hal
sehebat itu.”
Maryam mengangguk. ” Yah, begitulah kami.”
Lail me nyikut nya, berbisik, ” Jangan bertingkah konyol.” Mereka tidak lagi ber-
ada di panti sosial.
Lail dan Maryam diantar ke hotel besar tempat acara nanti malam sekaligus
tempat mereka bermalam. Lobi hotel terlihat luas. Gedung itu sempurna
memakai sistem pintar. Mulai dari meja check- in, empat tabung berwarna putih
melayani tamu, me meriksa reservasi, mengalokasikan kamar. Mesin luggage hilir-
mudik membawa koper-koper, hanya beberapa petugas hotel yang terlihat,
sisanya mesin. Lail dan Maryam memperoleh dua anting logam dari meja check-
in. Dengan anting itu mereka punya akses lift, membuka pintu kamar, dan fungsi
lainnya, seperti meng atur suhu, membuat jendela kamar buram atau jernih, me-