Page 136 - hujan
P. 136
Lail menatap halaman dari balik jendela kamar. Maryam sudah tertidur di
ranjangnya.
Esok tidak pulang. Itu kabar yang Lail terima dari ibu Esok. Lail
mengembuskan napas, membuat jendela kaca berembun. Itu ber arti kesempatan
berikutnya dia bertemu dengan Esok adalah tahun depan. Itu pun kalau Esok
pulang.
Apa yang sedang dilakukan Esok di Ibu Kota sana? Apakah dia sebaiknya
menelepon Esok, bertanya kabar? Urusan ini kenapa belakangan membuatnya
tiba-tiba sedih tanpa sebab? Tiba-tiba malas tanpa alasan. Suasana hatinya
mudah sekali berubah. Bagaimana dia akan melewati liburan panjang tanpa
kesibukan apa pun? Itu akan membuatnya semakin sering memikirkan banyak
hal tanpa terkendali.
Lail mengembuskan napas sekali lagi, lalu beranjak naik ke ranjang atas.
Saatnya memaksa matanya tidur meski dia tidak mengantuk. Maryam di ranjang
bawah sudah lelap. Selimutnya jatuh ke lantai. Pemanas ruangan bekerja dengan
baik, suhu dingin di luar sana tidak terasa.
Esoknya Lail dan Maryam bangun kesiangan. Hingga pengawas lantai
mengetuk pintu kamar.
”Ada apa? Bukankah hari ini libur?” Maryam mem buka pintu sambil
menyipitkan mata.
”Ada telepon untuk kalian. Dari markas Organisasi Rela wan.”
” Kalau hanya untuk memberitahukan tidak ada penugasan, tutup saja
teleponnya. Aku sudah bosan bicara dengan mereka,” Maryam menjawab ketus.
” Maryam!” Pengawas lantai melotot. Dia tidak segalak Ibu Suri, tapi tetap saja
berkuasa atas satu lantai. Pengawas itu mem berikan gagang telepon nirkabel.
Lail yang menerimanya, menekan tombol. Layar hologram ter bentuk di atas
gagang telepon. Pukul sembilan, markas Orga ni sasi Relawan sudah ramai, jam
masuk kerja.
”Selamat pagi, Lail.” Petugas yang dulu menyeleksi mereka ter lihat di layar
hologram tiga dimensi, menyapanya.