Page 139 - hujan
P. 139
Ibu Suri sudah berusaha mencarika n gaun terbaik bagi kita,” Lail balas berbisik.
” Dia menghabiskan waktu 24 jam dalam sehari, tidak pernah libur sekali pun,
mengurus seluruh panti, mengurus kita yang susah diatur. Dia berusaha sesabar
mungkin menghadapi semua penghuni panti. Bahkan memikirkan apa yang
akan kita kenakan di acara itu. Kalau aku menjadi anggota komite, aku akan
memberikan penghargaan itu kepada Ibu Suri.”
” Eh?” Maryam terdiam mendengar kalimat Lail, langkahnya terhenti.
”Ada apa?” Lail ikut terhenti, menoleh.
”Apakah aku sejahat itu kepada Ibu Suri tadi?” Maryam bertanya dengan suara
cemas.
Lail tertawa, melangkah kembali. ” Tidak apa-apa, Maryam. Ibu Suri sudah
terbiasa. Paling kamu akan dikenang sebagai penghuni panti paling tidak tahu
berterima kasih.”
Maryam melotot kepada Lail.
Sehari sebelum perjalanan, Lail memutuskan pergi ke toko kue. Dia hendak
memberitahu ibu Esok bahwa dia akan ke Ibu Kota. Siapa tahu ada yang hendak
dititipkan ibu Esok. Maryam memaksa ikut. Sepanjang perjalanan, di atas bus
kota rute 12, dia terus menggoda Lail tentang anak laki-laki dengan sepeda
merah itu.
Wajah Lail merah padam. Tapi kali ini sepertinya Maryam tidak akan berhenti
dengan mudah. Mungkin sudah saatnya Maryam juga tahu tentang Esok.
Mereka tinggal sekamar selama tiga tahun terakhir. Maryam sudah
menceritakan semua tentang dirinya, tidak ada lagi rahasia tertinggal. Sekarang
giliran Lail menyampaikan semua kisah hidupnya kepada Maryam.
” Kamu mau mendengarnya atau tidak?” Lail menatap wajah jerawatan
Maryam yang masih cengar-cengir menggoda.
”Oke. Oke. Aku hanya bergurau, Lail. Jangan marah.” Maryam buru-buru
memperbaiki ekspresi wajah dan posisi duduk.
Sama seperti kepada Ibu Suri, Lail menceritakan dengan cepat siapa Esok
kepada Maryam. Anak laki-laki yang memegang tas punggungnya di lubang