Page 143 - hujan
P. 143
sore dan Lail tetap tidak ada kemajuan. ”Atau aku saja yang bicara dengannya,
boleh?”
Lail menggeleng, mengamankan telepon dari tangan Maryam.
”Atau kamu bisa mengirim pesan pendek, sehingga kamu ti dak perlu menatap
wajahnya di layar hologram—yang khawatir nanti membuatmu menjadi batu.”
Lail menggeleng lagi. Dia tetap tidak berani melakukannya. Maryam menepuk
dahi, menyerah, berseru bahwa dia mau mandi. Urusan perasaan ini, sejak
zaman prasejarah hingga bumi hampir punah, tetap saja demikian polanya.
Pukul enam, mereka bersiap-siap, melupakan soal telepon tadi, mencoba
mengenakan gaun pemberian Ibu Suri.
Maryam mematut lama di depan cermin, menggeleng, lalu me lepaskan gaun
itu.
”Aku tidak mau mengenakannya, Lail. Aku lebih baik me makai seragam
relawan. Kita berlari menembus badai dengan seragam kebanggaan itu. Maka
malam ini, peduli amat jika ratus an undangan mengenakan pakaian dan gaun
terbaik mereka, aku akan mengenakan seragam relawan.”
” Tapi kita sudah berjanji mengenakannya, Maryam.” Lail meng hela napas. Dia
juga tidak suka melihat dirinya di dalam cer min. Lagi-lagi teringat Claudia yang
bagai putri dalam do ngeng.
”Oke. Aku sudah mengenakannya tadi. Lima menit, itu lebih dari cukup. Aku
sudah memenuhi janjiku,” Maryam menjawab santai, mengganti pakaiannya.
Lail tersenyum kecut. Baiklah, dia juga akan berganti pakai an.
Peringatan lima tahun berdirinya Organisasi Relawan adalah acara besar yang
dihadiri banyak pejabat penting Ibu Kota. Lail dan Maryam belum pernah
menghadiri jamuan makan malam, tapi mereka bisa melaluinya dengan baik.
Anting logam yang di berikan meja check- in hotel bisa memandu mereka selama
acara berlangsung. Tepuk tangan bergemuruh di ballroom saat me reka berdua
melangkah masuk, melintasi karpet merah. ” Lambaikan tangan. Jangan lupa
tersenyum lebar.” Anting logam perak itu memberi instruksi. Lail dan Maryam
melambaikan tangan, tersenyum. Wajah mereka muncul di layar televisi raksasa