Page 147 - hujan
P. 147
raksasa. Minggu-minggu liburan sekolah, kawasan kincir raksasa itu ramai oleh
pengun jung dan turis. Cahaya lampu gemerlap menghias kota.
Dari sana, seluruh Ibu Kota bisa terlihat. Gedung-gedung tinggi, jaringan
kereta layang, mobil-mobil terbang berlalu-lalang, bahkan sepeda juga bisa
terbang.
Lail menatap sepeda itu melintas. ” Tapi aku lebih suka sepeda lama milikmu.”
Esok tertawa, mengangguk. ”Sayangnya aku tidak mem bawa nya ke sini, Lail.
Aku tidak bisa membawamu berkeliling dengan sepeda itu.”
Mereka duduk di bangku taman, mendongak menatap kincir raksasa yang
berputar membawa pengunjung. Di sekitar mereka, anak-anak usia lima hingga
enam tahun berkejaran. Pukul delapan malam, Ibu Kota masih ramai.
” Kenapa kamu tidak meneleponku, Lail? Memberitahu bahwa kamu akan ke
Ibu Kota.”
Lail menunduk, sedikit kikuk. ”Aku tidak mau mengganggu kesibukanmu.”
Itu benar, selain soal dia memang tidak berani menyapa lebih dulu, situasi ini
menjadi lebih rumit karena Esok yang dia temui setahun lalu saat liburan bukan
lagi Esok yang dulu menemani nya di tenda pengungsian. Universitas terbaik itu
memberikan ke sempatan besar bagi Esok melakukan banyak hal. Esok me-
nemukan tempat paling mendukung untuk mengembangkan diri. Dengan bakat
hebatnya, Esok seperti ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.
Tahun pertama di sana, Esok mematenkan belasan teknologi baru. Liputan
tentang penemuannya ada di mana-mana, ter masuk yang paling menarik adalah
mesin roket paling eJsien. Berita tentang Esok ada di televisi, cover majalah
digital. Wajah nya ada di dinding gedung, bus kota, dan halte. Lail tidak berani
me nelepon Esok, karena itu akan mengganggu kesibukan pemuda itu. Siapa dia
bagi Esok sekarang? Dia hanya gadis kecil yang bebe rapa tahun lalu
diselamatkan Esok.
”Omong-omong, kamu tidak membawa sesuatu untukku dari ibuku, Lail?”
”Oh.” Lail baru ingat, bergegas mengeluarkan kotak kecil dari saku seragam
relawannya, kotak kue.