Page 148 - hujan
P. 148
” Ibu meneleponku tadi pagi, bilang bahwa kamu ke Ibu Kota meng hadiri acara
Organisasi Relawan. Ibu tidak bercerita bahwa kamu akan menerima
penghargaan. Tadi keren sekali, Lail. Aku tidak percaya menatap layar televisi
raksasa di ballroom. Bukan kah Lail yang kukenal lima tahun lalu, bahkan takut
rambutnya kutuan? Sekarang, lihatlah, dia berlari menembus badai, tubuh
dipenuhi lumpur, demi mengirim peringatan bagi satu kota.” Esok ter tawa.
” Jangan membahas soal kutu itu, Esok.” Lail menggeleng se bal.
” Hanya bergurau, Lail. Aku tidak pernah bisa berhenti ter tawa mengingat
kamu menatap penuh prasangka anak laki-laki di antrean sebelah dengan
rambut kribo mengembang.”
” Hei. Berhenti. Atau aku tidak akan memberikan kue dari ibumu,” Lail
mengancam.
Esok menyeringai, mengangguk.
Itu selalu saja menjadi momen paling menyenangkan bagi Lail. Bertemu Esok.
Bercakap-cakap dengannya. Malam itu, di tengah hamparan cahaya lampu
taman Golden Ring, mereka bicara sambil menghabiskan kue. Lezat seperti
biasa.
” Bagaimana dengan sekolahmu?”
”Aku diterima di sekolah keperawatan.”
” Wow, itu bagus sekali. Akhirnya kamu serius sekolah.”
Lail tertawa.
” Kamu akan pindah ke asrama sekolah?”
Lail mengangguk. ”Setelah libur panjang.”
Mereka bercakap-cakap tentang apa saja. Kenangan masa lalu, panti sosial,
Organisasi Relawan, penugasan Lail, kuliah Esok, hingga situasi terakhir KTT
Perubahan Iklim Dunia.
” Di negara kita, iklim masih terkendali. Salju memang turun, tapi suhu tidak
pernah melewati batas lima derajat Celsius. Di negara-negara tropis lainnya,
musim dingin ekstrem telah terjadi tiga bulan terakhir. Situasi mereka sangat
berbahaya. Bisa dipasti kan, hanya soal waktu mereka juga akan meluncurkan